Raisya Rezki Cahyani
Soe Hok Jin atau yang dikenal dengan nama
Arief Budiman adalah aktivis, sosiolog, penulis dan intelektual publik, yang
berjasa mengenalkan pemikiran kritis di masa Orde Baru. Beliau merupakan seorang
aktivis demonstran Angkatan '66 bersama dengan adiknya, Soe Hok Gie ketika ia
masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta. Ia
merupakan penanam benih perlawanan terhadap penindasan rezim Orde Baru dengan
memperkenalkan ide-ide radikal kepada para siswa, pertama di Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW) dan kemudian melalui bukunya Teori Pembangunan
Dunia Ketiga (Teori Pembangunan Dunia Ketiga). Salah satu kiprahnya yang paling
dikenal adalah menyerukan Golput “Golongan Putih” bersama intelektual dan
pemikir liberal yang menolak Pemilu 1971. Pemilihan umum ini pertama kali
digelar pemerintahan Orde Baru dengan partai Golkar sebagai mesin politik
Soeharto yang menang mutlak.[1]
Kakak Sok Hok Gie ini lahir Jakarta pada
tanggal 3 Januari 1941. Ia adalah putra ketiga dari Soe Lie Piet (Salam Sutrawan) seorang
wartawan dan penulis keturunan Tionghoa. Ia lulus Sekolah dasar tahun 1955,
Sekolah Menengah Pertama tahun 1958, dan pada 1961 lulus SMA Kanisus Jakarta.
Setelah itu ia melanjutkan studi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
dan lulus tahun 1968. Sejak mahasiswa ia telah aktif di berbagai kegiatan,
antaralain menulis di Star weekly, Indonesia Raya, Sinar Harapan, Kompas,
Tempo, dan sebagainya. Saat menjadi mahasiswa ia pernah mengungkap korupsi Ibnu
Sutowo, Direktur Pertamina. Ia juga dikenal membuat gerakan anti pembangunan
Taman Mini Indonesia Indah. Selama masa ini ia dikenal sebagai demonstran anti
Soeharto. Sejak mahasiswa Arief sudah aktif dalam kancah politik Indonesia,
Tahun 1966 hingga 1972 ia menjadi redaksi majalah Horison dan ikut menandatangani
manifesto kebudayaan. Pada 1968 hingga 1971 ia kemudian menjadi wakil ketua IKJ
dan anggota BSF. Setelah kelulusannya Ia mendapat beasiswa dari fulbright untuk
belajar sosiologi di Harvard University dan memperoleh gelar ph.D disana dan
disertasi the Mobilization and state
strategy in the democratic Transition, The Casr off Allande's Chile.
Perjalanan karir yang pernah ia geluti
semasa hidupnya antaralain pernah bekerja sebagai staff Association for
cultural freedom, Paris tahun 1973. Pernah menjadi asisten peneliti Advanced
studies Princeton University, Amerika Serikat tahun 1977-1978. Menjadi staf
pengajar di University of California di Santa Cruz tahun 1978-1981. Pernah
menjadi staf pengajar UK Satya Wacana di Salatiga, Jawa Tengah tahun 1981-1894
hingga ia dikeluarkan setelah terjadinya konflik internal. Sejak 1997 ia
menjadi guru besar di Universitas Melbourne Australia di bidang ilmu ekonomi
dan politik.[2]
Pada masa Orde Baru tepatnya 1970, masa itu
mulai dijadikan sarang untuk menangguk keuntungan pribadi oleh para akademisi
dan tentara dengan jalan pemerintahan yang non-demokratis.
Arief Budiman dan kawan-kawannya mantan demonstran 1966 menjadi gerah akan situasi
tersebut. Arief menggagaskan gerakan “Mahasiswa Menggugat”, mereka melakukan perjalanan
panjang dari Kampus Universitas Indonesia di Salemba hingga Lapangan Banteng
yang jaraknya hampir 29 Km. Para demonstran membagikan selebaran berisi kecaman
terhadap perselingkuhan antara para
jenderal dengan para profesor di sepanjang jalan mereka dalam menyuarakan aksi.
Setelah aksi Arief dan rekan itu,
agen-agen Opsus (Operasi Khusus) mulai menyusup ke kampus-kampus. Dewan
Mahasiswa dikooptasi, dan para aktivis mahasiswa bersuara keras mulai
dieliminasi. Situasi tersebut menjadikan Arief dan kawan-kawannya kecewa. Arieh
dan kawan-kawannya kemudian mendirikan Balai Budaya sebagai wadah untuk tetap
terus bersuara keras terhadap segala penyelewengan cita-cita semula Orde Baru.
Sejarah mencatat, Arief terlibat dalam berbagai gerakan oposisi. Dia menjadi pelakon
utama dalam aksi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang
sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Juga dalam gerakan Golongan Putih
“Golput” yang menentang segala macam monopoli politik menjelang Pemilu 1971
yang dilakukan partai Kuning, Arief Budiman adal demonstran yang ada di garis
terdepan. Ketika berlangsung pertandingan
sepak bola nasional di Stadion Utama Senayan (Stadion Gelora Bung Karno) yang
dihadiri ribuan orang, para aktivis Golongan Putih membentangkan spanduk
raksasa berbunyi: “Golput Menjadi Penonton yang Baik”. Pemerintah Orde Baru naik
pitam tentunya atas aksi ini. Lewat Ali Moertopo, Asisten Pribadi Presiden
Soeharto disebutlah bahwa Golput sebagai gerakan tak ada artinya dengan
komentar “Golput itu kentut” yang diujar Ali kepada media.[3]
Seorang Arief Budiman sangat menentang
Rezim Tak Lazim ORBA oleh Soeharto dan Anteknya. Hal ini dengan jelas ia
gambarkan dalam Buku yang berjudul Zaman Peralihan. Dalam tulisannya tersirat dengan sarkas bahwa
pemerintahan pada masa itu memiliki mimpi yang tinggi dengan jalan tanpa
solusi. Langsung melakukan perubahan besar tanpa melakukan perubahan kecil
berdampak besar yang akhirnya hanya melahirkan kesenjangan saja karena
kesukaran sang pemimpin menjadi Macan Kertas Ala Soekarno.
“Pemerintah Soeharto juga punya
cita-cita yang tidak kalah besarnya. Soeharto bercita-cita agar masyarakat desa
Indonesia (yang merupakan sebagian besar rakyat Indonesia) dapat menikmati
hidup yang lebih layak. Jauh lebih mudah membuat sebuah monumen dengan emas di
pucuknya, daripada membuat dan memperbaiki 1000 km jalan raya. Jauh lebih mudah
membuat universitas di Kalimantan Tengah dari pada membangun 100 buah SD di
desa-desa. Usaha-usaha Adam Malik dan kawan-kawan mencari kredit baru, menunda
pembayaran utang-utang adalah bagian permulaan daripada usaha besar ini. Tetapi
apakah pemuda-pemuda lulusan SMP di Wonosoba menyadari soal ini?”. Dalam
kutipan berikut juga tergambar reaksi dari Arief Budiman yang tidak suka akan
pemerintahan Soeharto yang terlalu pragmatis “Ambillah contoh soal rule of law.
Masyarakat Indonesia telah sangat haus terhadap tertib hukum. Setiap hari kita
dengar cerita-cerita tentang oknum-oknum militer yang menampar rakyat biasa,
tentang ngebut anak-anak penggede, atau tentang penyelundupan yang dilindungi.
Reaksi pertama muak, lalu apatis. Jika Soeharto dan pemerintahnya berhasil
menunjukkan, bahwa ada kesungguhan pemerintah dalam menegakkan rule of law,
maka dukungan masyarakat akan bertambah terasa”.[4]
Yang melatar belakangi sikap keras Arief Budiman dalam mengekspresikan
dirinya dalam penentangan penyelewengan cita -
cita bangsa masa Orde Baru diperkirakan karena rasa kehilangan yang
teramat besar atas kematian Soe Hok Gie adiknya yang meninggal karena menghirup
asap beracun dalam pendakian di Gunung Semeru. Sebelum memasuki Universitas
kedua kakak beradik ini memiliki hubungan yang cukup renggang, Terang Rudy
Badil sahabat Arief Budiman pada tim wartawan Historia Masa Lampau Selalu
Aktual. Pada masa-masa di kampus, sebelum kematian Soe Hok Gie, kakak-adik itu
mulai memperlihatkan niat untuk memperbaiki hubungan. Walau tak ada
penyelesaian maslah bersih seperti sidang-sidang tetapi sejak kegiatan mereka yang
aktif dalam berbagai diskusi-diskusi tentang situasi tanah air, Arief dan Soe
Hok Gie merasa mereka berdua semakin memiliki kesamaan minat. Hubungan mereka
berdua akhirnya membaik. Soe Hok Gie sering berkeluh kesah tentang kehidupan
pribadinya kepada Arief abangnya. Begitu juga sebaliknya. Kakak-adik itu bahkan
secara sadar tak sadar saling mempengaruhi dalam gerak langkah dan sikap
politik mereka masing-masing. Salah satu yang sering disebut Soe Hok Gie adalah
mengenai gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral.
Dalam kutipan sebuah surat kepada
Boediono, sahabatnya dari Seo Hok Gie
tanggal 5 Maret 1967. Soe Hok Gie pernah mengutip pendapat Arief
mengenai ideal-ideal sebuah gerakan mahasiswa. “Boedi…Lu masih ingat karangan
kakak gue tentang cowboy yang basmi bandit-bandit di suatu kota? Setelah
tugasnya selesai dia pergi begitu saja, tanpa minta balas jasa…Gue mau agar
mahasiswa-mahasiswa sekarang juga bermoral seperti cowboy itu…”tulis Soe Hok
Gie, diceritakan dalam buku Soe Hok Gie, Sekali Lagi: Buku, Pesta, dan Cinta di
Alam. Arief tampaknya banyak terinspirasi oleh Soe Hok Gie. Keputusannya dan
jalan pilihannya saat menjadi oposisi (Penentang) Orde Baru seolah meneruskan
apa yang dulu sering Ia diskusikan bersama sang adik. Arief berusaha gigih
melanjutkan cita – cita sang adik memperjuangkan nasib bangsa.[5]
Arief Budiman adalah lelaki
pemberani. Pada saat yang di perlukan ia menjelma menjadi seribu tanda seru
bagi penguasa non-demokratis, bersuara di jalan dan menulis. Bahkan setelah
reformasi ia masih terus aktif menruskan aksinya dengan menulis. Sekitar tahun 1960,
Arief Budiman sering bergaul dan berbaur dengan kaum sastra di Jakarta. Ia
bersama Goenawan Mohamad rajin dolan ke rumah Wiratmo Soekito. Mereka membaca
buku dan berdiskusi mengenai sastra, filsafat, politik, sejarah, dan lainnya.
Arief Budiman yang pada saat itu memang berstatus sebagai mahasiswa Universitas
Indonesia mulai menulis esai-esai dan membuat sketsa. Berkat itu ia memiliki
kecakapan dalam menulis, dan mulai menerbitkan buku - buku kisahnya yang mampu menginspirasi para
mahasiswa dalam memperjuangkan dan memperjuangkan nasib bangsa.
Buku karangan dari Arief Budiman
sangat banyak, diantaranya Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (skripsi sarjana
psikologi UI-Pustaka Jaya, 1976), Perdebatan Sastra Kontekstual (editor Ariel
Heryanto; memuat tulisan Arief Budiman tentang topik ini tahun 1985),
Transmigrasi di Indonesia: Ringkasan Tulisan dan Hasil-Hasil Penelitian (1985),
Jalan Demokrasi ke Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende (Desertasi
untuk gelar Doktor sosiologi pada Universitas Harvard-1986), Pembagian kerja
secara seksual: sebuah pembahasan sosiologis tentang peran wanita di dalam masyarakat
(Gramedia, 1982). Beliau juga pernah menerima Penghargaan atas Esainya yang
berjudul "Manusia dan Seni"
yang mendapatkan Hadiah Ketiga majalah Sastra pada tahun 1963. Pada Agustus tahun
2006 Arief menerima penghargaan Bakrie Award, acara rutin tahunan yang
disponsori oleh keluarga Bakrie dan Freedom Institute untuk bidang penelitian
sosial. Salah satu kutipan lugas dari Arief Budiman yang cukup unik yakni
"Saya terima penghargaan ini sebagai penghinaan. Saya ini orang kiri yang
menolak paradigma modernisasi dan pembangunanisme, tetapi saya malah
mendapatkan penghargaan dari orang kanan.", Berasal dari pidatonya saat
menerima penghargaan Achmad Bakrie 2006.[6]
Arief
bekerja sebagai dosen di Melbourne University. Dan setelah pensiun Ia kembali pulang
ke Salatiga. Pada saat itu ia telah divonis dengan riwayat penyakit parkinson
yang mempengaruhi sistem motorik tubuhnya. Dalam masa rehatnya Ia tetap gigih
untuk menyimpan memori ingatannya akan peristiwa – peristiwa yang dialaminya yang
belum sempat ia tulis sendiri. Arief bekerja sama dengan penulis dan wartawan
untuk menerbitkan buku ataupun artikel mengenai kisahnya. Walau begitu tetap
saja umur tidak dapat dilawan. Karena usianya yang makin menua ingatannya akan
peristiwa-peristiwa tersebut pastinya ikut memudar. Arief juga pernah menolak
salah satu penulis yang ingin menjadikannya narasumber dari buku bertemakan gerakan menentang pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) karena lupa akan kelengkapan peristiwa tersebut. Hingga
kemudian beliau tutup usia di umur 79 tahun pada tanggal 23 April 2020 di Rumah
Sakit Ken Saras, Bergas karena penyakitkomplikasi yang dideritanya.
Kesimpulan
Arief
Budiman adalah aktivis, sosiolog, penulis dan intelektual publik, yang berjasa
mengenalkan pemikiran kritis di masa Orde Baru. Arief dengan nama kecil Seo Hok
Jin memang dikenal memiliki sikap keras kepada penguasa, tetapi ia juga tak
segan memuji tokoh-tokoh yang memiliki sikap dan pandangan yang ia anggap baik dalam
memimpin Indonesia walaupun tokoh yang ia puji memiliki beberapa
pertentangan pendapat dengannya. Bagi Arief, konflik dilihat sebagai komunikasi
mengadu gagasan atau argumen. Sebagai intelektual, Arief terlihat sering
menggunakan pemikiran strukturalismenya untuk menggugat kapitalisme Orde Baru. Dengan
kakinya ia melintasi jalan-jalan demonstrasi tanpa takut dipenjara atau
dimusuhi Soeharto. Dengan tangannya ia menulis keluh, kecewa, dan gerahnya
terhadap model pemerintahan yang menyengsarakan bangsa tanpa takut terhadap
status bahkan nyawa sebagai taruhannya. Atas sikap berani dan kegigihannya
dalam memperjuangkan nasib bangsa, Arief Budiman layak untuk di juluki “Panutan
Kaum Demonstran”.
[1] Fahri Salam. “Sosiolog Dr. Arief Budiman
Meninggal Dunia”. 23 April. 2020, https://tirto.id/sosiolog-dr-arief-budiman-meninggal-dunia-eQHz. Diakses
27 November 2020
[2] Drs Sam Setyautama. Tokoh - Tokoh Etnis Tionghoa di
Indonesia . Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta . 2008. Hal 333
[3] Hendi Johari. “Jalan Seorang Arief
Budiman”. 23 April 2020, https://historia.id/politik/articles/jalan-seorang-arief-budiman-vqmzy/page/1.
Diakses 26 November 2020
[4] Kuntowijoyo, Stanley. Seo Hok Gie : Zaman Peralihan. Gagas
Media. Jakarta. 2005. Hal 90 - 91
[5] Rudy Badil. Seo Hok Gie, Sekali lagi : Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya.
PT Gramedia. Jakarta. 2009. Hal 342
[6] Wikipedia. Arief Budiman. https://id.wikipedia.org/wiki/Arief_Budiman.
Diakses 27 November 2020
Daftar
Pustaka
Badil, Rudy. 2009. Seo Hok Gie, Sekali lagi : Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya. PT Gramedia. Jakarta.
Fahri Salam. “Sosiolog Dr. Arief Budiman Meninggal Dunia”. 23 April. 2020, https://tirto.id/sosiolog-dr-arief-budiman-meninggal-dunia-eQHz.
Hendi Johari. “Jalan Seorang Arief Budiman”. 23 April 2020, https://historia.id/politik/articles/jalan-seorang-arief-budiman-vqmzy/page/1.
Kuntowijoyo dan Stanley. 2005. Seo Hok Gie : Zaman Peralihan. Gagas Media. Jakarta.
Setyautama, Sam. 2008. Tokoh - Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.
Wikipedia. “Arief Budiman”. https://id.wikipedia.org/wiki/Arief_Budiman. Diakses 27 November 2020