Nurul Annisa Deshanty
Antonio Gramsci (lahir di Ales, Italia, 22 Januari 1891 – meninggal 27 April 1937 pada umur 46 tahun) adalah filsuf Italia, penulis, dan teoritikus politik. Anggota pendiri dan pernah menjadi pemimpin Partai Komunis Italia, Gramsci sempat menjalani pemenjaraan pada masa berkuasanya rezim Fasis Benito Mussolini. Tulisan-tulisannya menitikberatkan pada analisis budaya dan kepemimpinan politik. Ia dianggap sebagai salah satu pemikir orisinal utama dalam tradisi pemikiran Marxis. Ia juga dikenal sebagai penemu konsep hegemoni budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara dalam sebuah masyarakat kapitalisme.[1]
Konsep Hegemoni Gramsci adalah gagasan yang berpusat pada pemahaman Antonio Gramsci mengenai hegemoni sebagai sarana kultural maupun ideologis tempat kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat, termasuk pada dasarnya tapi bukan secara kelas eksklusif penguasa, melestarikan dominasinya dengan mengamankan "persetujuan spontan" kelompok-kelompok subordinat, termasuk kelas pekerja, melalui penciptaan negoisasi konsensus politik maupun ideologis yang menyusup ke dalam kelompok-kelompok dominan maupun yang didominasi.
Yang membedakan Konsep Hegemoni Gramsci dengan konsep
hegemoni oleh tokoh lainnya adalah pertama, ia menerapkan konsep itu lebih luas
bagi kekuatan tertinggi satu kelompok atau lebih atas lainnya dalam setiap
hubungan sosial, sedangkan pemakaian istilah itu sebelumnya hanya menunjuk pada
relasi antara proletariat dan kelompok lainnya. Kedua, Gramsci juga
mengkarakterisasikan hegemoni dalam istilah “pengaruh kultural”, tidak
hanya “kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi” sebagaimana dipahami
generasi Marxis terdahulu (Femia, 1983).
Ada 3
tingkatan hagemoni menurut Gramsci, yaitu:
1. Hegemoni Total. Hegemoni yang ditandai dengan afiliasi
masa yang mendekati totalitas, masyarakat menunjukan tingkat kesatuan moral dan
intelektual yang kokoh.
2. Hegemoni yang Merosot. Menurut Gramsci, pada tahap ini
terjadi potensi disintegrasi atau potensi konflik yang tersembunyi di bawah
permukaan, artinya sekalipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan dan
sasarannya, namun mentalitas massa tidak sungguh-sungguh selaras dengan
pemikiran yang dominan dan subjek hegemoni.
3. Hegemoni Minimum. Hegemoni yang paling rendah tingkatannya, hegemoni ini bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomi, politik dan intelektual.[2]
Sebagai seorang sosialis, Gramsci
memimpikan masyarakat tanpa kelas, tanpa adanya eksploitasi dan dominasi yang
dilakukan oleh kaum borjouis kepada kaum pekerja. Gramsci memikirkan pertanyaan
teoritis mengenai kesenjangan yang terjadi antara teori Marxis dengan praktik
politik kaum pekerja di Italia dan bagaimana cara untuk menutup kesenjangan
ini, mengapa kekuatan dari kaum borjouis tidak berakhir, mengapa masyarakat
Italia mendukung fasisme dan bukan mendukung sosialisme, dari
pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Teori Hegemoni.
Teori Hegemoni pada dasarnya adalah
antitesa dari model perubahan sosial dalam teori Marxisme dan merupakan bentuk
kritikan terhadap konsep pemikiran yang dianut oleh penganut Marxisme, Marxisme
Klasik, dan Non Marxisme mengenai pandangan mereka tentang perubahan sosial dan
revolusi yang cenderung positivistik dan mekanistik. Mereka memandang formasi
sosial masyarakat masyarakat yang meyakini bahwa masyarakat berkembang secara
linier kemudian menuju masyarakat kapitalistik yang mengeksploitasi kaum
pekerja. Titik awal dari Teori adalah suatu kelas elit beserta anggota dari
kelas itu menjalankan kekuasaan yang mendominasi dengan cara kekerasan dan
persuasi kepada kelas-kelas yang ada di bawahnya. Hegemoni merupakan hubungan
persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis.
Hegemoni
berlangsung ketika masyarakat bawah termasuk kaum proletar sudah menerima dan
meniru cara hidup, cara berpikir, dan pandangan kelompok elit yang mendominasi
dan mengeksploitasi mereka. Menurut Gramsci, hegemoni akan melahirkan
kepatuhan, sebuah sikap menerima keadaan. Suatu kelompok kelas dikatakan
hegemoni jika kelompok kelas tersebut mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan
kelas sosial lainnya, dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi
melalui perjuangan politik dan ideologis. Menurut Gramsci, kelas pekerja hanya
bisa menjadi kelas hegemoni dengan cara memperhatikan berbagai kepentingan dari
kelas dan kekuatan sosial lain, serta mempertemukannya dengan kepentingan
mereka sendiri yang tidak boleh sebatas kepentingan lokal yang disebut Gramsci
sebagai perjuangan ekonomi korporasi (economic corporate strunggle). Mereka
juga harus mencapai berbagai konsensus agar bisa mewakili semua kelompok
kekuatan yang lebih besar. Upaya mencapai konsensus dilakukan melalui
perjuangan politik dan kepemimpinan intelektual, serta penyadaran ideologi
melalui pendidikan dan mekanisme kelembagaan.
Gramsci menyebutkan strategi perang
posisi, yaitu strategi membangun suatu kelompok besar yang terdiri dari
berbagai kekuatan sosial yang disatukan dengan konsepsi yang sama tentang
dunia. Gramsci melakukan analisis perang posisi antara dua kelas utama untuk
meraih hegemoni dan membaginya menjadi dua strategi antara kaum borjouis dan
kaum pekerja, yaitu revolusi pasif dan revolusi anti pasif. Revolusi pasif (passive revolution) adalah strategi yang
diterapkan kaum borjuis untuk meraih hegemoni di mana pemain utamanya adalah revolusi
dari atas. Revolusi pasif merupakan respon khas kaum borjuis ketika hegemoni
yang mereka kembangkan sebelumnya terancam, sehingga perlu dilakukan proses
pengorganisasian kembali secara menyeluruh untuk mendapatkan kembali kekuatan
hegemoninya. Sebaliknya, kelas pekerja menjalankan revolusi anti pasif (anti-passive revolution) sebagai
strategi untuk meraih hegemoni dengan cara memperkuat perjuangan kelas yang
bersifat demokratis kerakyatan secara terus menerus.
Tujuan untuk menciptakan hegemoni baru
hanya bisa diraih dengan mengubah kesadaran, pola pikir, pemahaman dan konsepsi
masyarakat tentang dunia, serta mengubah norma perilaku moral mereka agar
tercipta revolusi intelektual dan moral, di mana kaum intelektual yang harus
melaksanakannya. Gramsci meyakini bahwa setiap kelas menciptakan satu atau
lebih strata kaum intektual yang sadar akan peranannya dalam bidang ekonomi,
lapangan politik dan sosial. Dengan demikian, jika kelas pekerja ingin menjadi
kelas hegemoni, maka mereka juga harus menciptakan kaum intelektualnya sendiri.
Gramsci mendefinisikan kaum intelektual
sebagai semua orang yang mempunyai fungsi bukan hanya sebagai pemikir, penulis,
seniman, tetapi juga organisator seperti pegawai negeri dan pemimpin politik,
serta para ahli yang terlibat dalam kegiatan produksi. Gramsci menyadari bahwa
hegemoni kaum borjuis tidak hanya memiliki daya ancam ekonomis dan politik,
tetapi juga mampu menciptakan alam pikiran dan sistem nilai yang diyakini oleh
masyarakat. Ciri khas dari kekuasaan hegemoni adalah kekuasaan yang tertanam
dalam keyakinan, cita-cita, dan pandangan normatif seluruh masyarakat. [3]
Gramsci (Faruk, 2010: 153-154) membedakan dua domain negara, yakni negara politik dan negara etis/budaya. Negara
politik cenderung berkuasa secara
sewenang-wenang yang negatif dan represif, sedangkan negara etis/budaya cenderung berfungsi sebagai
pendidik berdasarkan kesepakatan
yang digambarkan seperti lembaga pendidikan yang lebih positif. Di sisi lain, Gramsci (Faruk, 2010) juga membedakan
dua wilayah
negara,
yakni masyarakat sipil yakni wilayah bawahan yang dikuasai dan masyarakat politik yakni wilayah atas yang menguasai
dengan kekerasan, paksaan, dan intervensi. Mengikuti konsepsi Gramsci, Sugiono (Nurhadi, 2004) mengartikan masyarakat sipil sebagai "semua perangkat pribadi", seperti
universitas, sekolah, media massa, gereja, dll. Kemudian, masyarakat politik adalah seperangkat institusi publik yang memiliki kekuatan secara hukum menjalankan komando tentara,
polisi, pengadilan dan birokrasi pemerintah.[4]
Masyarakat sipil memiliki peran penting
dalam membentuk kesadaran massa (kelompok-kelompok sosial yang lebih
rendah/subordinat) menyusun perlawanan dan membangun hegemoni alternatif atau
hegemoni tandingan (counter hegemony)
yang merupakan wadah di mana kelompok sosial yang dominan mengatur konsensus
dan hegemoni. Masyarakat politik dan masyarakat sipil adalah dua struktur utama dalam suprastuktur yang mewakili dua
wilayah yang berbeda tetapi berkaitan, yaitu wilayah adanya kekuatan (force) dalam masyarakat politik, dan
wilayah adanya persetujuan dalam masyarakat sipil. Masyarakat politik merujuk
pada keunggulan kelompok sosial melalui cara dominasi atau pemaksaan kehendak. Masyarakat sipil merujuk pada keunggulan
kelompok sosial melalui kepemimpinan intelektual dan moral. Negara integral
adalah istilah yang digunakan Gramsci untuk menyebut negara sebagai sebuah
kombinasi kompleks antara kediktatoran dan hegemoni, di mana kelas yang
berkuasa tidak hanya mempertahankan dominasi tetapi juga berusaha untuk memenangkan
persetujuan aktif, seperti penggabungan dari masyarakat politik dan masyarakat
sipil.
Gramsci menyatakan bahwa kelas yang
hendak meraih hegemoni dalam masyarakat sipil juga harus meraih kepemimpinan
dalam bidang produksi, karena kaum borjuis juga melakukan kontrol yang ketat
atas proses produksi, sehingga mereka pun dapat menjadi kelas hegemonik dalam
masyarakat sipil dan meraih kekuasaan negara. Gramsci menggunakan istilah blok
historis (historic bloc) untuk menunjukkan
upaya kelas hegemoni dalam memadukan kepemimpinan atas kekuatan kelompok sosial
dalam masyarakat sipil dengan kepemimpinan dalam bidang produksi.[5]
Kesimpulan
Teori Hegemoni
yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci adalah gagasan yang berpusat pada pemahamannya mengenai hegemoni sebagai sarana kultural maupun ideologis tempat kelompok-kelompok yang dominan dalam
masyarakat melestarikan dominasinya dengan mengamankan persetujuan spontan
kelompok-kelompok subordinat, termasuk kelas pekerja, melalui penciptaan negoisasi konsensus politik
maupun ideologis yang menyusup ke dalam kelompok-kelompok dominan maupun yang
di dominasi. Cikal bakal dari lahirnya Teori Hegemoni adalah hasil
dari pertanyaan-pertanyaan teoritis yang
dipikirkannya mengenai berbagai peristiwa yang terjadi pada saat itu, yang
merupakan kritikan terhadap pemahaman yang dianut oleh penganut Marxisme,
Marxisme Klasik, dan Non Marxisme yang cenderung positivistik dan mekanistik
mengenai perubahan sosial dan revolusi.
[1]
Wikipedia. Antonio Gramsci. https://id.wikipedia.org/wiki/Antonio_Gramsci.
Diakses 17 November 2020.
[2]
Wikipedia. Konsep Hegemoni Gramsci. https://id.wikipedia.org/wiki/Konsep_Hegemoni_Gramsci. Diakses pada 17 November 2020.
[3]
Endah Siswati. Anatomi Teori Hegemoni
Antonio Gramsci. Translitera : Jurnal Kajian Komunikasi dan Studi Media.
Vol. 5 No. 1, 2018. Hal. 26-28.
[4]
Lahila Fariha Zein, Dadang Sunendar, dan Tri Indri Hardini. Hegemoni dalam Novel Memoires D’Hadrien
Karya Marguerite Yourcenar. Jentera : Jurnal Kajian Sastra. Vol. 8, No. 1,
2019. Hal. 75-76.
[5]
Endah Siswati. Anatomi Teori Hegemoni
Antonio Gramsci. Translitera : Jurnal Kajian Komunikasi dan Studi Media.
Vol.5 No.1, 2018. Hal 28-29.
DAFTAR PUSTAKA
Endah
Siswati. Anatomi Teori Hegemoni Antonio
Gramsci. Translitera : Jurnal Kajian Komunikasi dan Studi Media. Vol. 5,
No. 1, 2018.
Lahila
Fariha Zein, Dadang Sunendar, dan Tri Indri Hardini. Hegemoni dalam Novel Memories D’Hadrien Karya Marguerie Yourcenar. Jentera
: Jurnal Kajian Sastra. Vol. 8, No. 1, 2019.
Wikipedia.
“Antonio Gramsci”. https://id.wikipedia.org/wiki/Antonio_Gramsci. Diakses 17
November 2020.
Wikipedia.
“Konsep Hegemoni Gramsci”. https://id.wikipedia.org/wiki/Konsep_Hegemoni_Gramsci. Diakses 17
November 2020.
No comments:
Post a Comment