Wednesday, 18 November 2020

TOKOH SOSIOLOGI : ANTONIO GRAMSCI : HEGEMONI

Nurul Annisa Deshanty


            Antonio Gramsci (lahir di Ales, Italia, 22 Januari 1891 – meninggal 27 April 1937 pada umur 46 tahun) adalah filsuf Italia, penulis, dan teoritikus politik. Anggota pendiri dan pernah menjadi pemimpin Partai Komunis Italia, Gramsci sempat menjalani pemenjaraan pada masa berkuasanya rezim Fasis Benito Mussolini. Tulisan-tulisannya menitikberatkan pada analisis budaya dan kepemimpinan politik. Ia dianggap sebagai salah satu pemikir orisinal utama dalam tradisi pemikiran Marxis. Ia juga dikenal sebagai penemu konsep hegemoni budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara dalam sebuah masyarakat kapitalisme.[1]

Konsep Hegemoni Gramsci adalah gagasan yang berpusat pada pemahaman Antonio Gramsci mengenai hegemoni sebagai sarana kultural maupun ideologis tempat kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat, termasuk pada dasarnya tapi bukan secara kelas eksklusif penguasa, melestarikan dominasinya dengan mengamankan "persetujuan spontan" kelompok-kelompok subordinat, termasuk kelas pekerja, melalui penciptaan negoisasi konsensus politik maupun ideologis yang menyusup ke dalam kelompok-kelompok dominan maupun yang didominasi.

Yang membedakan Konsep Hegemoni Gramsci dengan konsep hegemoni oleh tokoh lainnya adalah pertama, ia menerapkan konsep itu lebih luas bagi kekuatan tertinggi satu kelompok atau lebih atas lainnya dalam setiap hubungan sosial, sedangkan pemakaian istilah itu sebelumnya hanya menunjuk pada relasi antara proletariat dan kelompok lainnya. Kedua, Gramsci juga mengkarakterisasikan hegemoni dalam istilah “pengaruh kultural”, tidak hanya “kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi” sebagaimana dipahami generasi Marxis terdahulu (Femia, 1983). Ada 3 tingkatan hagemoni menurut Gramsci, yaitu:

1.   Hegemoni Total. Hegemoni yang ditandai dengan afiliasi masa yang mendekati totalitas, masyarakat menunjukan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh.

2.  Hegemoni yang Merosot. Menurut Gramsci, pada tahap ini terjadi potensi disintegrasi atau potensi konflik yang tersembunyi di bawah permukaan, artinya sekalipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan dan sasarannya, namun mentalitas massa tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran yang dominan dan subjek hegemoni.

3.  Hegemoni Minimum. Hegemoni yang paling rendah tingkatannya, hegemoni ini bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomi, politik dan intelektual.[2]

Sebagai seorang sosialis, Gramsci memimpikan masyarakat tanpa kelas, tanpa adanya eksploitasi dan dominasi yang dilakukan oleh kaum borjouis kepada kaum pekerja. Gramsci memikirkan pertanyaan teoritis mengenai kesenjangan yang terjadi antara teori Marxis dengan praktik politik kaum pekerja di Italia dan bagaimana cara untuk menutup kesenjangan ini, mengapa kekuatan dari kaum borjouis tidak berakhir, mengapa masyarakat Italia mendukung fasisme dan bukan mendukung sosialisme, dari pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Teori Hegemoni.

Teori Hegemoni pada dasarnya adalah antitesa dari model perubahan sosial dalam teori Marxisme dan merupakan bentuk kritikan terhadap konsep pemikiran yang dianut oleh penganut Marxisme, Marxisme Klasik, dan Non Marxisme mengenai pandangan mereka tentang perubahan sosial dan revolusi yang cenderung positivistik dan mekanistik. Mereka memandang formasi sosial masyarakat masyarakat yang meyakini bahwa masyarakat berkembang secara linier kemudian menuju masyarakat kapitalistik yang mengeksploitasi kaum pekerja.  Titik awal dari Teori  adalah suatu kelas elit beserta anggota dari kelas itu menjalankan kekuasaan yang mendominasi dengan cara kekerasan dan persuasi kepada kelas-kelas yang ada di bawahnya. Hegemoni merupakan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis.

 Hegemoni berlangsung ketika masyarakat bawah termasuk kaum proletar sudah menerima dan meniru cara hidup, cara berpikir, dan pandangan kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka. Menurut Gramsci, hegemoni akan melahirkan kepatuhan, sebuah sikap menerima keadaan. Suatu kelompok kelas dikatakan hegemoni jika kelompok kelas tersebut mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lainnya, dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis. Menurut Gramsci, kelas pekerja hanya bisa menjadi kelas hegemoni dengan cara memperhatikan berbagai kepentingan dari kelas dan kekuatan sosial lain, serta mempertemukannya dengan kepentingan mereka sendiri yang tidak boleh sebatas kepentingan lokal yang disebut Gramsci sebagai perjuangan ekonomi korporasi (economic corporate strunggle). Mereka juga harus mencapai berbagai konsensus agar bisa mewakili semua kelompok kekuatan yang lebih besar. Upaya mencapai konsensus dilakukan melalui perjuangan politik dan kepemimpinan intelektual, serta penyadaran ideologi melalui pendidikan dan mekanisme kelembagaan.

Gramsci menyebutkan strategi perang posisi, yaitu strategi membangun suatu kelompok besar yang terdiri dari berbagai kekuatan sosial yang disatukan dengan konsepsi yang sama tentang dunia. Gramsci melakukan analisis perang posisi antara dua kelas utama untuk meraih hegemoni dan membaginya menjadi dua strategi antara kaum borjouis dan kaum pekerja, yaitu revolusi pasif dan revolusi anti pasif. Revolusi pasif (passive revolution) adalah strategi yang diterapkan kaum borjuis untuk meraih hegemoni di mana pemain utamanya adalah revolusi dari atas. Revolusi pasif merupakan respon khas kaum borjuis ketika hegemoni yang mereka kembangkan sebelumnya terancam, sehingga perlu dilakukan proses pengorganisasian kembali secara menyeluruh untuk mendapatkan kembali kekuatan hegemoninya. Sebaliknya, kelas pekerja menjalankan revolusi anti pasif (anti-passive revolution) sebagai strategi untuk meraih hegemoni dengan cara memperkuat perjuangan kelas yang bersifat demokratis kerakyatan secara terus menerus.

Tujuan untuk menciptakan hegemoni baru hanya bisa diraih dengan mengubah kesadaran, pola pikir, pemahaman dan konsepsi masyarakat tentang dunia, serta mengubah norma perilaku moral mereka agar tercipta revolusi intelektual dan moral, di mana kaum intelektual yang harus melaksanakannya. Gramsci meyakini bahwa setiap kelas menciptakan satu atau lebih strata kaum intektual yang sadar akan peranannya dalam bidang ekonomi, lapangan politik dan sosial. Dengan demikian, jika kelas pekerja ingin menjadi kelas hegemoni, maka mereka juga harus menciptakan kaum intelektualnya sendiri.

Gramsci mendefinisikan kaum intelektual sebagai semua orang yang mempunyai fungsi bukan hanya sebagai pemikir, penulis, seniman, tetapi juga organisator seperti pegawai negeri dan pemimpin politik, serta para ahli yang terlibat dalam kegiatan produksi. Gramsci menyadari bahwa hegemoni kaum borjuis tidak hanya memiliki daya ancam ekonomis dan politik, tetapi juga mampu menciptakan alam pikiran dan sistem nilai yang diyakini oleh masyarakat. Ciri khas dari kekuasaan hegemoni adalah kekuasaan yang tertanam dalam keyakinan, cita-cita, dan pandangan normatif seluruh masyarakat. [3]

Gramsci (Faruk, 2010: 153-154) membedakan dua domain negara, yakni negara politik dan negara etis/budaya. Negara politik cenderung berkuasa secara sewenang-wenang yang negatif dan represif, sedangkan negara etis/budaya cenderung berfungsi sebagai pendidik berdasarkan kesepakatan yang digambarkan seperti lembaga pendidikan yang lebih positif. Di sisi lain, Gramsci (Faruk, 2010) juga membedakan dua wilayah negara, yakni masyarakat sipil yakni wilayah bawahan yang dikuasai dan masyarakat politik yakni wilayah atas yang menguasai dengan kekerasan, paksaan, dan intervensi. Mengikuti konsepsi Gramsci, Sugiono (Nurhadi, 2004) mengartikan masyarakat sipil sebagai "semua perangkat pribadi", seperti universitas, sekolah, media massa, gereja, dll. Kemudian, masyarakat politik adalah seperangkat institusi publik yang memiliki kekuatan secara hukum menjalankan komando tentara, polisi, pengadilan dan birokrasi pemerintah.[4]

Masyarakat sipil memiliki peran penting dalam membentuk kesadaran massa (kelompok-kelompok sosial yang lebih rendah/subordinat) menyusun perlawanan dan membangun hegemoni alternatif atau hegemoni tandingan (counter hegemony) yang merupakan wadah di mana kelompok sosial yang dominan mengatur konsensus dan hegemoni. Masyarakat politik dan masyarakat sipil adalah dua struktur utama dalam suprastuktur yang mewakili dua wilayah yang berbeda tetapi berkaitan, yaitu wilayah adanya kekuatan (force) dalam masyarakat politik, dan wilayah adanya persetujuan dalam masyarakat sipil. Masyarakat politik merujuk pada keunggulan kelompok sosial melalui cara dominasi atau pemaksaan kehendak.  Masyarakat sipil merujuk pada keunggulan kelompok sosial melalui kepemimpinan intelektual dan moral. Negara integral adalah istilah yang digunakan Gramsci untuk menyebut negara sebagai sebuah kombinasi kompleks antara kediktatoran dan hegemoni, di mana kelas yang berkuasa tidak hanya mempertahankan dominasi tetapi juga berusaha untuk memenangkan persetujuan aktif, seperti penggabungan dari masyarakat politik dan masyarakat sipil.

Gramsci menyatakan bahwa kelas yang hendak meraih hegemoni dalam masyarakat sipil juga harus meraih kepemimpinan dalam bidang produksi, karena kaum borjuis juga melakukan kontrol yang ketat atas proses produksi, sehingga mereka pun dapat menjadi kelas hegemonik dalam masyarakat sipil dan meraih kekuasaan negara. Gramsci menggunakan istilah blok historis (historic bloc) untuk menunjukkan upaya kelas hegemoni dalam memadukan kepemimpinan atas kekuatan kelompok sosial dalam masyarakat sipil dengan kepemimpinan dalam bidang produksi.[5]

 

Kesimpulan

Teori Hegemoni yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci adalah gagasan yang berpusat pada pemahamannya mengenai hegemoni sebagai sarana kultural maupun ideologis tempat kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat melestarikan dominasinya dengan mengamankan persetujuan spontan kelompok-kelompok subordinat, termasuk kelas pekerja, melalui penciptaan negoisasi konsensus politik maupun ideologis yang menyusup ke dalam kelompok-kelompok dominan maupun yang di dominasi. Cikal bakal dari lahirnya Teori Hegemoni adalah hasil dari  pertanyaan-pertanyaan teoritis yang dipikirkannya mengenai berbagai peristiwa yang terjadi pada saat itu, yang merupakan kritikan terhadap pemahaman yang dianut oleh penganut Marxisme, Marxisme Klasik, dan Non Marxisme yang cenderung positivistik dan mekanistik mengenai perubahan sosial dan revolusi.



[1] Wikipedia. Antonio Gramsci. https://id.wikipedia.org/wiki/Antonio_Gramsci. Diakses 17 November 2020.

[2] Wikipedia. Konsep Hegemoni Gramsci. https://id.wikipedia.org/wiki/Konsep_Hegemoni_Gramsci. Diakses pada 17 November 2020.

[3] Endah Siswati. Anatomi Teori Hegemoni Antonio Gramsci. Translitera : Jurnal Kajian Komunikasi dan Studi Media. Vol. 5 No. 1, 2018. Hal. 26-28.

[4] Lahila Fariha Zein, Dadang Sunendar, dan Tri Indri Hardini. Hegemoni dalam Novel Memoires D’Hadrien Karya Marguerite Yourcenar. Jentera : Jurnal Kajian Sastra. Vol. 8, No. 1, 2019. Hal. 75-76.

[5] Endah Siswati. Anatomi Teori Hegemoni Antonio Gramsci. Translitera : Jurnal Kajian Komunikasi dan Studi Media. Vol.5 No.1, 2018. Hal 28-29.

  

DAFTAR PUSTAKA

Endah Siswati. Anatomi Teori Hegemoni Antonio Gramsci. Translitera : Jurnal Kajian Komunikasi dan Studi Media. Vol. 5, No. 1, 2018.

Lahila Fariha Zein, Dadang Sunendar, dan Tri Indri Hardini. Hegemoni dalam Novel Memories D’Hadrien Karya Marguerie Yourcenar. Jentera : Jurnal Kajian Sastra. Vol. 8, No. 1, 2019.

Wikipedia. “Antonio Gramsci”.  https://id.wikipedia.org/wiki/Antonio_Gramsci. Diakses 17 November 2020.

Wikipedia. “Konsep Hegemoni Gramsci”. https://id.wikipedia.org/wiki/Konsep_Hegemoni_Gramsci. Diakses 17 November 2020.

No comments:

Post a Comment

MINUMAN KHAS MELAYU RIAU

Salsabila Asri Negara Indonesia memiliki berbagai macam masyarakat dengan latar belakang dan keinginan yang berbeda. Indonesia juga memp...