Sunday, 29 November 2020

Tokoh Sosiologi Indonesia Arief Budiman

Raisya Rezki Cahyani


Soe Hok Jin atau yang dikenal dengan nama Arief Budiman adalah aktivis, sosiolog, penulis dan intelektual publik, yang berjasa mengenalkan pemikiran kritis di masa Orde Baru. Beliau merupakan seorang aktivis demonstran Angkatan '66 bersama dengan adiknya, Soe Hok Gie ketika ia masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta. Ia merupakan penanam benih perlawanan terhadap penindasan rezim Orde Baru dengan memperkenalkan ide-ide radikal kepada para siswa, pertama di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dan kemudian melalui bukunya Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Teori Pembangunan Dunia Ketiga). Salah satu kiprahnya yang paling dikenal adalah menyerukan Golput “Golongan Putih” bersama intelektual dan pemikir liberal yang menolak Pemilu 1971. Pemilihan umum ini pertama kali digelar pemerintahan Orde Baru dengan partai Golkar sebagai mesin politik Soeharto yang menang mutlak.[1]

Kakak Sok Hok Gie ini lahir Jakarta pada tanggal 3 Januari 1941. Ia adalah putra ketiga  dari Soe Lie Piet (Salam Sutrawan) seorang wartawan dan penulis keturunan Tionghoa. Ia lulus Sekolah dasar tahun 1955, Sekolah Menengah Pertama tahun 1958, dan pada 1961 lulus SMA Kanisus Jakarta. Setelah itu ia melanjutkan studi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan lulus tahun 1968. Sejak mahasiswa ia telah aktif di berbagai kegiatan, antaralain menulis di Star weekly, Indonesia Raya, Sinar Harapan, Kompas, Tempo, dan sebagainya. Saat menjadi mahasiswa ia pernah mengungkap korupsi Ibnu Sutowo, Direktur Pertamina. Ia juga dikenal membuat gerakan anti pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Selama masa ini ia dikenal sebagai demonstran anti Soeharto. Sejak mahasiswa Arief sudah aktif dalam kancah politik Indonesia, Tahun 1966 hingga 1972 ia menjadi redaksi majalah Horison dan ikut menandatangani manifesto kebudayaan. Pada 1968 hingga 1971 ia kemudian menjadi wakil ketua IKJ dan anggota BSF. Setelah kelulusannya Ia mendapat beasiswa dari fulbright untuk belajar sosiologi di Harvard University dan memperoleh gelar ph.D disana dan disertasi the Mobilization and state  strategy in the democratic Transition, The Casr off Allande's Chile.

Perjalanan karir yang pernah ia geluti semasa hidupnya antaralain pernah bekerja sebagai staff Association for cultural freedom, Paris tahun 1973. Pernah menjadi asisten peneliti Advanced studies Princeton University, Amerika Serikat tahun 1977-1978. Menjadi staf pengajar di University of California di Santa Cruz tahun 1978-1981. Pernah menjadi staf pengajar UK Satya Wacana di Salatiga, Jawa Tengah tahun 1981-1894 hingga ia dikeluarkan setelah terjadinya konflik internal. Sejak 1997 ia menjadi guru besar di Universitas Melbourne Australia di bidang ilmu ekonomi dan politik.[2]

             Pada masa Orde Baru tepatnya 1970, masa itu mulai dijadikan sarang untuk menangguk keuntungan pribadi oleh para akademisi dan tentara dengan jalan pemerintahan yang non-demokratis. Arief Budiman dan kawan-kawannya mantan demonstran 1966 menjadi gerah akan situasi tersebut. Arief menggagaskan gerakan “Mahasiswa Menggugat”, mereka melakukan perjalanan panjang dari Kampus Universitas Indonesia di Salemba hingga Lapangan Banteng yang jaraknya hampir 29 Km. Para demonstran membagikan selebaran berisi kecaman terhadap perselingkuhan antara  para jenderal dengan para profesor di sepanjang jalan mereka dalam menyuarakan aksi.

            Setelah aksi Arief dan rekan itu, agen-agen Opsus (Operasi Khusus) mulai menyusup ke kampus-kampus. Dewan Mahasiswa dikooptasi, dan para aktivis mahasiswa bersuara keras mulai dieliminasi. Situasi tersebut menjadikan Arief dan kawan-kawannya kecewa. Arieh dan kawan-kawannya kemudian mendirikan Balai Budaya sebagai wadah untuk tetap terus bersuara keras terhadap segala penyelewengan cita-cita semula Orde Baru. Sejarah mencatat, Arief terlibat dalam berbagai gerakan oposisi. Dia menjadi pelakon utama dalam aksi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Juga dalam gerakan Golongan Putih “Golput” yang menentang segala macam monopoli politik menjelang Pemilu 1971 yang dilakukan partai Kuning, Arief Budiman adal demonstran yang ada di garis terdepan. Ketika berlangsung  pertandingan sepak bola nasional di Stadion Utama Senayan (Stadion Gelora Bung Karno) yang dihadiri ribuan orang, para aktivis Golongan Putih membentangkan spanduk raksasa berbunyi: “Golput Menjadi Penonton yang Baik”. Pemerintah Orde Baru naik pitam tentunya atas aksi ini. Lewat Ali Moertopo, Asisten Pribadi Presiden Soeharto disebutlah bahwa Golput sebagai gerakan tak ada artinya dengan komentar “Golput itu kentut” yang diujar Ali kepada media.[3]

Seorang Arief Budiman sangat menentang Rezim Tak Lazim ORBA oleh Soeharto dan Anteknya. Hal ini dengan jelas ia gambarkan dalam Buku yang berjudul Zaman Peralihan. Dalam tulisannya tersirat dengan sarkas bahwa pemerintahan pada masa itu memiliki mimpi yang tinggi dengan jalan tanpa solusi. Langsung melakukan perubahan besar tanpa melakukan perubahan kecil berdampak besar yang akhirnya hanya melahirkan kesenjangan saja karena kesukaran sang pemimpin menjadi Macan Kertas Ala Soekarno.

“Pemerintah Soeharto juga punya cita-cita yang tidak kalah besarnya. Soeharto bercita-cita agar masyarakat desa Indonesia (yang merupakan sebagian besar rakyat Indonesia) dapat menikmati hidup yang lebih layak. Jauh lebih mudah membuat sebuah monumen dengan emas di pucuknya, daripada membuat dan memperbaiki 1000 km jalan raya. Jauh lebih mudah membuat universitas di Kalimantan Tengah dari pada membangun 100 buah SD di desa-desa. Usaha-usaha Adam Malik dan kawan-kawan mencari kredit baru, menunda pembayaran utang-utang adalah bagian permulaan daripada usaha besar ini. Tetapi apakah pemuda-pemuda lulusan SMP di Wonosoba menyadari soal ini?”. Dalam kutipan berikut juga tergambar reaksi dari Arief Budiman yang tidak suka akan pemerintahan Soeharto yang terlalu pragmatis “Ambillah contoh soal rule of law. Masyarakat Indonesia telah sangat haus terhadap tertib hukum. Setiap hari kita dengar cerita-cerita tentang oknum-oknum militer yang menampar rakyat biasa, tentang ngebut anak-anak penggede, atau tentang penyelundupan yang dilindungi. Reaksi pertama muak, lalu apatis. Jika Soeharto dan pemerintahnya berhasil menunjukkan, bahwa ada kesungguhan pemerintah dalam menegakkan rule of law, maka dukungan masyarakat akan bertambah terasa”.[4]

            Yang melatar belakangi sikap keras Arief Budiman dalam mengekspresikan dirinya dalam penentangan penyelewengan cita -  cita bangsa masa Orde Baru diperkirakan karena rasa kehilangan yang teramat besar atas kematian Soe Hok Gie adiknya yang meninggal karena menghirup asap beracun dalam pendakian di Gunung Semeru. Sebelum memasuki Universitas kedua kakak beradik ini memiliki hubungan yang cukup renggang, Terang Rudy Badil sahabat Arief Budiman pada tim wartawan Historia Masa Lampau Selalu Aktual. Pada masa-masa di kampus, sebelum kematian Soe Hok Gie, kakak-adik itu mulai memperlihatkan niat untuk memperbaiki hubungan. Walau tak ada penyelesaian maslah bersih seperti sidang-sidang tetapi sejak kegiatan mereka yang aktif dalam berbagai diskusi-diskusi tentang situasi tanah air, Arief dan Soe Hok Gie merasa mereka berdua semakin memiliki kesamaan minat. Hubungan mereka berdua akhirnya membaik. Soe Hok Gie sering berkeluh kesah tentang kehidupan pribadinya kepada Arief abangnya. Begitu juga sebaliknya. Kakak-adik itu bahkan secara sadar tak sadar saling mempengaruhi dalam gerak langkah dan sikap politik mereka masing-masing. Salah satu yang sering disebut Soe Hok Gie adalah mengenai gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral.

Dalam kutipan sebuah surat kepada Boediono, sahabatnya dari Seo Hok Gie  tanggal 5 Maret 1967. Soe Hok Gie pernah mengutip pendapat Arief mengenai ideal-ideal sebuah gerakan mahasiswa. “Boedi…Lu masih ingat karangan kakak gue tentang cowboy yang basmi bandit-bandit di suatu kota? Setelah tugasnya selesai dia pergi begitu saja, tanpa minta balas jasa…Gue mau agar mahasiswa-mahasiswa sekarang juga bermoral seperti cowboy itu…”tulis Soe Hok Gie, diceritakan dalam buku Soe Hok Gie, Sekali Lagi: Buku, Pesta, dan Cinta di Alam. Arief tampaknya banyak terinspirasi oleh Soe Hok Gie. Keputusannya dan jalan pilihannya saat menjadi oposisi (Penentang) Orde Baru seolah meneruskan apa yang dulu sering Ia diskusikan bersama sang adik. Arief berusaha gigih melanjutkan cita – cita sang adik memperjuangkan nasib bangsa.[5]

            Arief Budiman adalah lelaki pemberani. Pada saat yang di perlukan ia menjelma menjadi seribu tanda seru bagi penguasa non-demokratis, bersuara di jalan dan menulis. Bahkan setelah reformasi ia masih terus aktif menruskan aksinya dengan menulis. Sekitar tahun 1960, Arief Budiman sering bergaul dan berbaur dengan kaum sastra di Jakarta. Ia bersama Goenawan Mohamad rajin dolan ke rumah Wiratmo Soekito. Mereka membaca buku dan berdiskusi mengenai sastra, filsafat, politik, sejarah, dan lainnya. Arief Budiman yang pada saat itu memang berstatus sebagai mahasiswa Universitas Indonesia mulai menulis esai-esai dan membuat sketsa. Berkat itu ia memiliki kecakapan dalam menulis, dan mulai menerbitkan buku -  buku kisahnya yang mampu menginspirasi para mahasiswa dalam memperjuangkan dan memperjuangkan nasib bangsa.

            Buku karangan dari Arief Budiman sangat banyak, diantaranya Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (skripsi sarjana psikologi UI-Pustaka Jaya, 1976), Perdebatan Sastra Kontekstual (editor Ariel Heryanto; memuat tulisan Arief Budiman tentang topik ini tahun 1985), Transmigrasi di Indonesia: Ringkasan Tulisan dan Hasil-Hasil Penelitian (1985), Jalan Demokrasi ke Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende (Desertasi untuk gelar Doktor sosiologi pada Universitas Harvard-1986), Pembagian kerja secara seksual: sebuah pembahasan sosiologis tentang peran wanita di dalam masyarakat (Gramedia, 1982). Beliau juga pernah menerima Penghargaan atas Esainya yang berjudul  "Manusia dan Seni" yang mendapatkan Hadiah Ketiga majalah Sastra pada tahun 1963. Pada Agustus tahun 2006 Arief menerima penghargaan Bakrie Award, acara rutin tahunan yang disponsori oleh keluarga Bakrie dan Freedom Institute untuk bidang penelitian sosial. Salah satu kutipan lugas dari Arief Budiman yang cukup unik yakni "Saya terima penghargaan ini sebagai penghinaan. Saya ini orang kiri yang menolak paradigma modernisasi dan pembangunanisme, tetapi saya malah mendapatkan penghargaan dari orang kanan.", Berasal dari pidatonya saat menerima penghargaan Achmad Bakrie 2006.[6]

                Arief bekerja sebagai dosen di Melbourne University. Dan setelah pensiun Ia kembali pulang ke Salatiga. Pada saat itu ia telah divonis dengan riwayat penyakit parkinson yang mempengaruhi sistem motorik tubuhnya. Dalam masa rehatnya Ia tetap gigih untuk menyimpan memori ingatannya akan peristiwa – peristiwa yang dialaminya yang belum sempat ia tulis sendiri. Arief bekerja sama dengan penulis dan wartawan untuk menerbitkan buku ataupun artikel mengenai kisahnya. Walau begitu tetap saja umur tidak dapat dilawan. Karena usianya yang makin menua ingatannya akan peristiwa-peristiwa tersebut pastinya ikut memudar. Arief juga pernah menolak salah satu penulis yang ingin menjadikannya narasumber dari buku bertemakan gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) karena lupa akan kelengkapan peristiwa tersebut. Hingga kemudian beliau tutup usia di umur 79 tahun pada tanggal 23 April 2020 di Rumah Sakit Ken Saras, Bergas karena penyakitkomplikasi yang dideritanya.

 

Kesimpulan

Arief Budiman adalah aktivis, sosiolog, penulis dan intelektual publik, yang berjasa mengenalkan pemikiran kritis di masa Orde Baru. Arief dengan nama kecil Seo Hok Jin memang dikenal memiliki sikap keras kepada penguasa, tetapi ia juga tak segan memuji tokoh-tokoh yang memiliki sikap dan pandangan yang ia anggap baik dalam memimpin Indonesia walaupun tokoh yang ia puji memiliki beberapa pertentangan pendapat dengannya. Bagi Arief, konflik dilihat sebagai komunikasi mengadu gagasan atau argumen. Sebagai intelektual, Arief terlihat sering menggunakan pemikiran strukturalismenya untuk menggugat kapitalisme Orde Baru. Dengan kakinya ia melintasi jalan-jalan demonstrasi tanpa takut dipenjara atau dimusuhi Soeharto. Dengan tangannya ia menulis keluh, kecewa, dan gerahnya terhadap model pemerintahan yang menyengsarakan bangsa tanpa takut terhadap status bahkan nyawa sebagai taruhannya. Atas sikap berani dan kegigihannya dalam memperjuangkan nasib bangsa, Arief Budiman layak untuk di juluki “Panutan Kaum Demonstran”.          


                                               

[1] Fahri Salam. “Sosiolog  Dr. Arief Budiman Meninggal Dunia”. 23 April. 2020, https://tirto.id/sosiolog-dr-arief-budiman-meninggal-dunia-eQHz. Diakses 27 November 2020

[2]   Drs Sam Setyautama. Tokoh -  Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia . Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta . 2008. Hal 333

[3] Hendi Johari. “Jalan Seorang Arief Budiman”. 23 April 2020, https://historia.id/politik/articles/jalan-seorang-arief-budiman-vqmzy/page/1. Diakses 26 November 2020

[4]   Kuntowijoyo, Stanley. Seo Hok Gie : Zaman Peralihan. Gagas Media. Jakarta. 2005. Hal 90 - 91

[5]   Rudy Badil. Seo Hok Gie, Sekali lagi : Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya. PT Gramedia. Jakarta. 2009. Hal 342

[6] Wikipedia. Arief Budiman. https://id.wikipedia.org/wiki/Arief_Budiman. Diakses 27 November 2020

 

Daftar Pustaka

Badil, Rudy. 2009. Seo Hok Gie, Sekali lagi : Buku, Pesta, dan Cinta di Alam BangsanyaPT Gramedia. Jakarta.

Fahri Salam. “Sosiolog  Dr. Arief Budiman Meninggal Dunia”. 23 April. 2020, https://tirto.id/sosiolog-dr-arief-budiman-meninggal-dunia-eQHz.

Hendi Johari. “Jalan Seorang Arief Budiman”. 23 April 2020, https://historia.id/politik/articles/jalan-seorang-arief-budiman-vqmzy/page/1.

Kuntowijoyo dan Stanley. 2005. Seo Hok Gie : Zaman Peralihan. Gagas Media. Jakarta.

Setyautama, Sam. 2008. Tokoh -  Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.

Wikipedia. “Arief Budiman”. https://id.wikipedia.org/wiki/Arief_Budiman.  Diakses 27 November 2020


No comments:

Post a Comment

MINUMAN KHAS MELAYU RIAU

Salsabila Asri Negara Indonesia memiliki berbagai macam masyarakat dengan latar belakang dan keinginan yang berbeda. Indonesia juga memp...