Sunday, 20 December 2020

Tokoh Sosiologi Indonesia: Prof. Dr. Selo Soemardjan

Fadhila Eka Putri


Selo Soemardjan dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia. Beliau lahir di Yogyakarta pada 23 Mei 1915. Latar belakang keilmuan yang dimiliki sebelum Studi Sosiologi adalah pendidikan menengah atas untuk birokrat pada masa kolonial yang dikenal dengan nama Mosvia. Selo Soemardjan, kemudian melanjutkan Studi Sosiologi di Universitas Cornell di Amerika Serikat dengan beasiswa dari pemerintah Amerika. Karirnya sebagai Sosiolog dibangun selama menjadi pengajar di Universitas Indonesia. Pada 1994 menerima Gelar Ilmuwan Utama Sosiologi dari pemerintah Indonesia. Pengaruh Sosiologi Amerika yang Parsonian pada saat itu, dibawa oleh Selo Soemardjan ke Indonesia melalui publikasi hasil risetnya berjudul ”Perubahan Sosial di Yogyakarta”. Perspektif fungsionalisme struktural dalam melihat perubahan sosial mendominasi Sosiologi pada awal masuknya disiplin tersebut ke Indonesia. Selo Soemardjan banyak melakukan studi tentang perubahan sosial, integrasi sosial, dan

sistem pemerintahan di Indonesia. Adopsi teori Fungsionalisme Parsonian dalam analisisnya membantu pemerintah dalam agenda pembangunan.[[1]]

Selo Sumardjan dikenal dikalangan akademik dan masyarakat di Indonesia sebagai bapak Sosiologi, ilmu yang digelutinya sejak beliau menempuh pendidikan tingginya untuk memperoleh gelar doktor. Thesis beliau yang berjudul social change in Yogyakarta, menjadi salah satu puncak pencapaian beliau yang melahirkan gelar sebagai professor dengan arus utama sosiologi.

Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI). Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam. Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak. Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ia orang bersih dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat. Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973–1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto. Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi. Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan sampai akhir hayatnya justru mengajar di Fakultas Hukum UI. Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat pendidikan Belanda.

Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain. Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, "Pak Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama". Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka "mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat," kenang Baharuddin Lopa. Dalam tulisan Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya. Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya. Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.[[2]]

Pemikiran utama dari Selo Sumardjan bersumber dari karya beliau yang dibukukan dengan judul “Perubahan Sosial di Yogyakarta”. Buku ini mengkaji dan menjelaskan perubahan sosial masyarakat Jawa di Yogyakarta. Perubahan sosial yang dikupas di buku ini tidak melihat pada proses perubahan masyarakat yang diakibatkan oleh berbagai proses perkembangan biologis, seperti pertumbuhan penduduk dan pergantian generasi. Perubahan sosial yang digagas Selo Sumardjan justru berfokus pada perubahan di dalam lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi  sistem sosial, yang di dalamnya termasuk nilai, norma, sikap dan tingkah laku. Selo Sumardjan memusatkan studinya tentang perubahan sosial di lembaga-lembaga politik yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, pada kurun waktu masa penjajahan Belanda (1775-1942), masa pendudukan Jepang (1942-1945) dan perjuangan kemerdekaan nasional yang berlangsung selama empat tahun.

Perubahan sosial di Yogyakarta menarik karena Yogyakarta memiliki subkultur yang berbeda dengan masyarakat Jawa lainnya dimana Yogyakarta merupakan daerah swaparaja (Kesultanan) yang tetap mempertahankan banyak tatanan feodal (Sumardjan, 2009). Menurut Sunyoto Usman (Gunawan, 2010), faktor penting dalam perubahan masyarakat Jawa terutama di Yogyakarta adalah ideologi politik. Ideologi politik dalam perspektif sosiologi bisa dilihat dari 2 hal. Pertama, status dan peran masyarakat sipil dalam hubungannya dengan negara, dari dalam posisi subordinasi (didominasi, diabaikan) dalam proses perumusan dan eksekusi keputusan yang menyangkut kepentingan publik, menjadi lebih melembagakan kompetisi sehat, transparansi, dan partisipasi. Kedua, status dan peran lembaga-lembaga pemerintahan, dari yang sangat sentralistik dan otokratis menjadi pemerintahan yang didesentralistik dan demokratis. Ideologi politik semacam ini bukan sekedar sebuah mekanisme bagaimana meraih, mengembangkan dan mempertahankan kekuasaan, tetapi lebih daripada itu adalah niat luhur yang menghargai harkat dan martabat manusia.[[3]]

Prof Dr Kanjeng Pangeran Haryo Selo Soemardjan (88), meninggal dunia Rabu 11/6/03 pukul 12.55 di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, karena komplikasi jantung dan stroke. Sosiolog yang mantan camat kelahiran Yogyakarta, 23 Mei 1915 ini dikebumikan di Pemakaman Kuncen, Yogyakarta, hari Kamis 12/6/03 pukul 12.00 WIB. Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Ia meninggalkan lima anak, 15 cucu dan dua cicit. Istrinya, RR Suleki Brotoatmodjo, dan putra keduanya, Budihardjo, sudah lebih dulu berpulang. Jenazah disemayamkan di rumah kediaman Jl Kebumen 5, Menteng, Jakarta Pusat. Sangat banyak kerabat yang melayat, sehingga jalan sekitar sempat macet karena banyaknya kendaraan yang diparkir. Kemudian Kamis (12/6) pukul 06.00, jenazah diterbangkan ke Yogyakarta, kota kelahirannya (Jl Kemetiran Kidul II/745, Kuncen) dengan pesawat Garuda GA 200. Jenazah akan disemayamkan di Masjid Kuncen sebelum dimakamkan di Pemakaman Kuncen, Yogyakarta, hari ini pukul 12.00 WIB. Salah seorang anaknya mengatakan hari Senin pukul 05.00, beliau mulai dirawat di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita karena gangguan jantung. Rabu pukul 10.30 kena stroke. Dokter berusaha keras memberi bantuan pernapasan lewat alat-alat pernapasan, tetapi karena jantungnya terus melemah, usaha tersebut gagal. Sosiolog ini meninggal di tengah keluarga dan kerabat. Sekitar pukul 09.00 almarhum masih sempat tertawa-tawa menonton acara televisi yang memutar film Benyamin Samson Betawi. Tetapi, sekitar pukul 11.00 ia terlihat sesak napas. Almarhum meninggalkan contoh yang baik, teladan, bukan hanya bgi keluarga tetapi bagi kerabat dan masyarakat umum. [[4]]

 

Kesimpulan:

Selo Soemardjan dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia. Ia lahir di Yogyakarta tanggal 23 Mei, tepat 88 tahun yang lalu, suatu angka yang amat indah, seindah pribadinya. Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS. Ia kemudian tetap melanjutkan mengajar sosiologi di Universitas Indonesia. Sebagai Ilmuan Selo memiliki beberapa karya tulisan yang sudah dipublikasikan diantaranya Social "Changes In Yogyakarta" dan "Gerakan 10 Mei 1963" di Sukabumi. Penelitian terakhir berjudul "Desentralisasi pemerintahan". Di sinilah camat Kabupaten Kulonprogo yang merupakan lulusan Mosvia (tingkat SLTA) ini menunjukkan kehebatannya. Hanya dalam kurun waktu kurang dari empat tahun beliau boleh pulang ke Tanah Air dengan menyandang gelar PhD di bidang sosiologi. Disertasinya “Social Changes in Jogyakarta” pun dibukukan dan banyak menjadi acuan sarjana luar negeri yang menulis tentang perubahan sosial di Indonesia pasca kemerdekaan. Sejak itu kegiatan Selo Soemardjan hampir tak ada habisnya untuk mengembangkan sosiologi dan bahkan ilmu sosial lainnya di Tanah Air. Dia memperoleh gelar profesor dari fakultas ekonomi, hanya satu tahun setelah kembali ke Tanah Air. Dia adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia beliau menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Di luar UI, tokoh yang “tidak bisa diam” ini mendirikan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial bersama koleganya yang berasal dari berbagai bidang ilmu sosial. Yayasan itu amat banyak memberikan sumbangan penting dalam sejarah perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Selo adalah ketua yayasan tersebut sampai tahun 2001. Tahun 1972 bersama rekan-rekannya mendirikan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial dan tahun 1980 ikut membidani lahirnya Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI). Tidak mengherankan bila para sosiolog di Indonesia (yang hampir semua adalah bekas muridnya) mengangkat beliau sebagai Bapak Sosiologi Indonesia. Sedemikian lekatnya sosiologi dengan Selo Soemardjan sampai seorang mantan asistennya, Drs Wahyu Sardono (almarhum), memelesetkannya menjadi “Selologi”. Prof. Dr. Selo Soemardjan menghembuskan nafas terakhirnya Rabu 11/6/03 pukul 12.55 di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, karena komplikasi jantung dan stroke. Beliau meninggal dunia pada usia 88 tahun dan meninggalkan 5 anak, 15 cucu dan 2 cicit.



[1] Yusra, Abrar. Biografi Komat-Kamit Selo Soermadjan. Jakarta. 1995. Hal 56

[2] Wikipedia. Indonesia. https://id.wikipedia.org/wiki/Selo_Soemardjan.  Di akses pada 13 Desember 2020.

[3] Soemardjan, Selo. Peranan Cendekiawan dalam Pembangunan Nasional. Yogyakarta. 1976. Hal 117

[4] Ensiklopedi. Indonesia. https://tokoh.id/biografi/1-ensiklopedi/bapak-sosiologi-indonesia/. Di akses pada 14 Desember 2020.

 

DAFTAR PUSTAKA 

Ensiklopedi. Indonesia. https://tokoh.id/biografi/1-ensiklopedi/bapak-sosiologi-indonesia/. Di akses pada 14 Desember 2020.

Soemardjan, Selo. Peranan Cendekiawan dalam Pembangunan Nasional. Yogyakarta.

Wikipedia. Indonesia. https://id.wikipedia.org/wiki/Selo_Soemardjan.  Di akses pada 13 Desember 2020.

Yusra, Abrar. Biografi Komat-Kamit Selo Soermadjan. Jakarta.

No comments:

Post a Comment

MINUMAN KHAS MELAYU RIAU

Salsabila Asri Negara Indonesia memiliki berbagai macam masyarakat dengan latar belakang dan keinginan yang berbeda. Indonesia juga memp...