Syafira Junia Ardhani
Tanjak
berasal dari zaman Kesultanan Melayu Melaka. Sebelum zaman itupun sudah menjadi
kewajiban rakyat jelata untuk menutup kepala atau mengikat rambut panjang
mereka agar terlihat rapi ketika menghadap raja. Masyarakat Melayu Melaka
mendapat ikhtiar untuk menggunakan kain panjang berbentuk segi empat yang
dilipat-lipat dan diikat menjadi sejenis alas kepala yang rapi untuk dipakai
dalam acara resmi. Seiring berjalanya waktu ikatan kain ini lama-kelamaan makin
lama makin cantik mengikut perkembangan zaman, Tanjak ini banyak dimodifikasi
atau diubah sesuai mengikut selera pemakainya. Namun, meskipun bentuk Tanjak
ini sudah dimodifikasi, akan tetapi teknik melipatnya harus sesuai dengan sebagaimana
mestinya. Tanjak ini hanya boleh di gunakan oleh kaum laki-laki, seperti
selayaknya Kopiah/Songkok yang hanya di gunakan oleh kaum laki-laki.[1]
Masyarakat
Melayu penggunaan Tanjak diwajibkan terutama bagi kaum pria. Tujuannya agar
tampak rapi saat menghadap raja karena rambut pemuda saat itu panjang dan
semraut. Tanjak sendiri berawal dari Kesultanan Melayu Malaka. Bahkan sebelum
zaman itu penggunaan Tanjak bagi rakyat jelata diwajibkan.Tanjak Melayu Malaka
pada awalnya berbahan kain panjang berbentuk segi empat kemudian dilipat-lipat.
Seiring berjalannya waktu ikatan itu semakin cantik dan indah. Masyarakat
banyak memodifikasi sesuai dengan keinginan si pemakai. Termasuk muncul motif,
corak yang menandakan derajat seseorang. Motif dan corak itu setelah berkembang
menjadi pembeda. Memasuki zaman kemerdekaan, kepopuleran Tanjak memudar lalu
digantikan dengan cepat oleh peci. Itu karena kerajaan meleburkan diri dengan
Indonesia. Ditambah tidak ada pencatatan bahwa orang Melayu dahulu memang pengguna
Tanjak.[2]
Tanjak merupakan sejenis tutup kepala atau Destar yang
dipakai sehari-hari atau pakaian hari atau peristiwa tertentu seperti yang di
anjurkan pada, misalnya majlis perkawinan, sunat rasul, hari raya, dan
lain-lain. Dijelaskan secara filosofis dengan ungkapan Melayu berikut: yang
dipakai berpatut-patut, yang beradat lembaga, yang beradat berketurunan, yang
dijaga dan yang dipelihara, yang bertempat dan bertempatan, yang ada asal
usulnya, yang banyak nama antara lain Belah Mumbang, Tebing Laksemana, Tumbang
Layar, Tebing Runtuh, Tanjak Laksemana, Tanah Terban, Gombak Raja, Daun
Sehelas, dan Dua Sejumbai.[3]
Museum Sang Nila Utama yang berada di Pekanbaru, Riau
memiliki koleksi beragam jenis Tanjak Melayu. Salah satu Tanjak yang terdapat di
Museum Sang Nila Utama ini adalah Tanjak yang berwarna biru laut. Tanjak ini
merupakan Tanjak yang bersejarah dan digunakan oleh Laksamana Hang Tuah kala
itu. Tanjak ini juga tercipta dari kain songket yang mempunyai simbol
kehormatan dan kewibawaan dari Sang Laksamana, sementara warna biru laut pada
Tanjak ini mempunyai arti yaitu memiliki hakikat kerendahan hati Sang Laksamana
untuk rakyat, menjadi lambang dari kerahmatan dan kezuhudan dari sang pelindung
rakyat Melayu ini terhadap rakyatnya sendiri.[4]
Tanjak yang biasa dipakai raja atau hulubalang
menggunakan kain tenun asli Siak yang harganya mencapai ratusan ribu rupiah,
sementara Tanjak yang dipasarkan dengan corak Melayu berkisar seharga
Rp.50.000-Rp.100.000 saja perbuahnya.
Sejarah
Menurut sebuah perspektif, orang-orang Melayu Sriwijayalah yang pertama
kali menggunakan Tanjak ini dalam keseharian mereka.
Pada
tahun 750 Masehi, Sang Jaya Bangsa atau Sang Rama Dhamjaya – Maharaja Sriwijaya
yang berpusat di Palembang, Sumatera menyerang kerajaan Langkasuka yang
berpusat di Semenanjung Malaya sekarang yang pada waktu itu berada di bawah
pemerintahan Raja Maha Bangsa. Hingga pada tahun 775 Masehi, Sriwijaya berhasil
menaklukkan Langkasuka dan seluruh tanah jajahannya.
Dari
sinilah pemakaian Tanjak diperkenalkan di Semenanjung. Meski demikian, pengaruh
budaya Melayu Langkasuka seperti Kecopong atau Ketopong tetap dominan. Di
semenanjung, penggunaan Tanjak secara meluas diyakini pertama kali ketika Seri
Tera Buana diresmikan sebagai pemerintah bagi tiga buah kerajaan, yaitu
Sriwijiaya, Bintan dan Singapura Tua.
Dari
segi kedudukan geografi, Kepulauan Bintan dan Kepulauan Singapura merupakan
sebagian dari Semenanjung Tanah Melayu. Maknanya, masuknya Tanjak pertama kali
dari arah selatan menuju ke utara Semenanjung. Di era-era berikutnya, setelah
tersebarnya agama Islam, Sultan-sultan Melaka dan Johor-Riau-Lingga-Pahang
telah menobatkan putera-putera mereka sebagai raja atau sultan di negeri Perak,
Jeram (Selangor), Johor, Terengganu dan Pahang.
Kegunaaan
Kini, di berbagai daerah salah satunya seperti di kabupaten Siak
mempopulerkan kembali yang menjadi ciri dan simbol adat tersebut. Seperti
bupati, pejabat, hingga anak muda kembali gemar memakai Tanjak. Tentu saja
dengan Tanjak yang bentuk dan variasinya sudah dimodifikasi. Lalu ada juga
seperti kita lihat di STAIN Bengkalis yang dimana dosen dan mahasiswa nya
memakai Tanjak pada hari tertentu untuk melambangkan jati diri sekolah tinggi
tersebut sebagai Kampus Melayu.
Tanjak
dianggap lambang kewibawaan di kalangan masyarakat Melayu. Jadi semakin tinggi
dan kompleks bentuknya, menunjukkan semakin tinggi pula lah status sosial si
pemakainya. Tanjak biasanya di pakai masyakarat Melayu di seluruh lapisan kelas
sosial, baik dilingkungan kerajaan sebagai kalangan bangsawan maupun pada
lapisan masyarakat kelas bawah. Begitu seorang pria meninggalkan rumah,
biasanya ia mengenakan tanjak yang berfungsi sebagai penutup kepala dari gangguan
udara maupun reranting kayu.
Pembuatan
Tanjak yang lebih berkreasi digagas oleh orang Melayu dahulu yang aktif di
bidang gerak tangan. Awalnya Tanjak berbentuk ikat biasa, tapi lama kelamaan cukup
bervariasi dan gaya. Kreasi yang pertama kali muncul diberi nama Tebing Runtuh,
Belalai Gajah, Pial Ayam, Elang Menyongsong Angin dan lain sebagainya. Penamaan
itu juga menyesuaikan bentuk Tanjak yang dibuat sehingga sangat populer di
dunia Melayu.
Di
kalangan masyarakat luas, selembar kain yang dilipat sedemikian rupa untuk
menghiasi kepala itu tidak hanya disebut dengan Tanjak, namun ada istilah dan
nama-nama lain yang turut menyertainya, seperti Tengkolok dan Destar. Namun
tentu ada perbedaan di antara masing-masing nama-nama tersebut. Seperti
Tengkolok yang memiliki ciri khas berupa lilitan yang meruncing ke atas dengan
teknik berlapis-lapis sehingga membentuk ketebalan tertentu dan bahan kain yang
digunakan untuk merangkai Tengkolok menggunakan bahan yang bermutu.
Berbeda
dengan Destar, yang dimana lilitannya lebih rendah dan menipis dan bahan kain
yang digunakan juga tidak harus dengan harga yang tinggi. Tanjak lebih seperti
Tengkolok, namun juga ada mengadopsi dari Destar, maksudnya disini adalah dari
segi bahan Tanjak menggunakan bahan yang berkualitas dan atau tidak harus mahal
namun menggunakan bahan yang bisa dijadikan untuk bergaya. Jika dari segi
lilitan yang berlapis, Tanjak lebih kental mengarah ke Tengkolok sedangkan dari
segi model lilitan dan ketinggian, Tanjak lebih memilih destar sebagai acuannya.[5]
Cara Pemakaian
Tanjak
Tanjak
Dendam Tak Sudah ini biasanya khusus hanya di pakai oleh sultan. Perbedaannya
hanya terletak pada arah lawi dan lipatnya terdapat 7 jenjang. Tanjak sultan
mengarah ke kanan sedangkan Tanjak Solok Timbo mengarah ke kiri yang biasanya
digunakan pada perhelatan resmi seperti pernikahan dan acara adat lainnya.
Berikut merupakan cara pemakaian Tanjak yang benar yaitu dengan jarak 2 jari di
atas alis kita dan memposisikan simpul ketupat palas yang harus berada di atas
telinga kanan kemudian lawinya otomatis akan mengarah ke kiri sampai ke bagian
belakang kepala.
Tanjak
untuk masyarakat biasa arah lawinya kekiri dan Tanjak Solok Timbo mengarah
kearah kanan sedangkan lipatannya tidak boleh menggunakan tujuh jenjang lipatan
dan biasanya digunakan pada saat mengikuti acara besar seperti penobatan datuk
dan perkawinan.
Pemakaian
Tanjak yang arah lawinya mengarah kebelakang dan Tanjak Solo Timbonya mengarah
kedepan berarti pemakainya merupakan seorang pelipurlara atau penghibur yang
pada zaman dahulu nya merupakan orang yang memiliki talenta pandai dalam
membuat lucu atau humor untuk menghibur sultan dan para bangsawan pada masa
itu. Namun apabila arah lawinya mengarah kedepan dan Tanjak Solo Timbonya
mengarah ke belakang berarti suasana daerah dalam keadaan perang.
Nilai Filosofi
Tanjak
Filosofi
Tanjak yang biasanya digunakan masyarakat Melayu di Provinsi Riau, bahwa setiap
bentuk Tanjak yang digunakan memiliki makna tersendiri, yaitu:
·
Tanjak Dendam Tak Sudah
Memiliki
makna seseorang yang bekerja keras demi melindungi anaknya, ini terlihat dari
bentuk-bagian atas Tanjak, tidak di jahit terlihat seperti melambai-lambai dan
dibalik bentuk tanjak ini memiliki makna yaitu makna kasih sayang.
·
Tanjak Elang Menyongsong Angin
Memiliki
makna kedudukan seorang raja yang menghadang musuh, melambangkan kebijaksanaan
dan kecermatan. Bentuk bagian atasnya seperti kepala elang yang lagi memainkan
gerak angin.
·
Tanjak Pial Ayam
Tanjak
yang di sederhanakan dari Tanjak Elang Menyongsong Angin. Warna Tanjak ini
berwarna merah dan dibagian kepala ayam memiliki makna yaitu keberanian.
·
Tanjak Elang Patah Sayap
Memiliki
makna kesatria yang terletak dibagian lambaian atasnya yang mirip seperti kepak
elang yang patah akibat perkelahian. Jadi bermakna memiliki sifat pemimpin
seperti halnya seekor elang ketika harus terbang melawan badai.
·
Tanjak Pari Mudik
Dibagian atas
Tanjak ini dibentuk patah kebawah yang menyerupai ikan pari yang memiliki makna
yaitu sikap rendah hati kepada sesama.
Kesimpulan
Tanjak berasal dari zaman Kesultanan Melayu Melaka.
Sebelum zaman itupun sudah menjadi kewajiban rakyat jelata untuk menutup kepala
atau mengikat rambut panjang mereka agar terlihat rapi ketika menghadap raja.
Tanjak merupakan sejenis tutup kepala atau Destar yang dipakai sehari-hari atau
pakaian hari atau peristiwa tertentu seperti yang di anjurkan pada, misalnya
majlis perkawinan, sunat rasul, hari raya, dan lain-lain.
Tanjak yang biasa dipakai raja atau hulubalang
menggunakan kain tenun asli Siak yang harganya mencapai ratusan ribu rupiah,
sementara Tanjak yang dipasarkan dengan corak Melayu berkisar seharga
Rp.50.000-Rp.100.000 saja perbuahnya.
Tanjak dianggap lambang kewibawaan di kalangan
masyarakat Melayu. Jadi semakin tinggi dan kompleks bentuknya, menunjukkan
semakin tinggi pula lah status sosial si pemakainya. Tanjak biasanya di pakai
masyakarat Melayu di seluruh lapisan kelas sosial, baik dilingkungan kerajaan
sebagai kalangan bangsawan maupun pada lapisan masyarakat kelas bawah. Begitu
seorang pria meninggalkan rumah, biasanya ia mengenakan tanjak yang berfungsi
sebagai penutup kepala dari gangguan udara maupun reranting kayu.
Nilai filosofi Tanjak yaitu Tanjak Dendam Tak Sudah,
Tanjak Elang Menyongsong Angin, Tanjak Pial Ayam, Tanjak Elang Patah Sayap, dan
Tanjak Pari Mudik.
[1]Iskandar, J. 2018. Destar Alam Melayu. Akademi Semi Tradisional
Warisan Melayu. Kuala Lumpur. Hal. 12
[2]Ulul Azmi. Pengenalan Pemakaian Tanjak Melayu Pada Mahasiswa Sastra
Daerah Fakultas Ilmu Budaya. Vol. 1 No. 1,Oktober 2020. Hal. 2 dan 6
[3]Riau, L. A. "Pakaian Melayu Riau". https://lamriau.id/budaya-melayu-riau-bab-6/. Diakses 25
November 2020.
[4]Kontributor. "Koleksi Benda Sejarah Peninggalan Kebudayaan Melayu
di Museum Sang Nila Utama Pekanbaru, Provinsi Riau", Agustus. 2020,
https://hit.politik.us/koleksi-benda-sejarah-peninggalan-kebudayaan-melayu-di-museum-sang-nila-utama-pekanbaru-provinsi-riau/4/.
Diakses 25 November 2020.
[5]Blogspot. "Tanjak Melayu: Pengertian, Sejarah dan Kegunaan" http://tanjakmelayuriau.blogspot.com/2018/05/tanjak-melayu-pengertian-sejarah-dan.html.
Diakses 25 November 2020.
DAFTAR PUSTAKA
Blogspot. "Tanjak
Melayu: Pengertian, Sejarah dan
Kegunaan" http://tanjakmelayuriau.blogspot.com/2018/05/tanjak-melayu-pengertian-sejarah-dan.html.
Diakses 25 November 2020.
Iskandar, J. 2018. Destar
Alam Melayu. Akademi Semi Tradisional Warisan Melayu. Kuala Lumpur
Kontributor. "Koleksi
Benda Sejarah Peninggalan Kebudayaan Melayu di Museum Sang Nila Utama
Pekanbaru, Provinsi Riau",
Agustus. 2020, https://hit.politik.us/koleksi-benda-sejarah-peninggalan-kebudayaan-melayu-di-museum-sang-nila-utama-pekanbaru-provinsi-riau/4/.
Diakses 25 November 2020.
Riau, L. A. "Pakaian
Melayu Riau".
https://lamriau.id/budaya-melayu-riau-bab-6/. Diakses 25 November 2020.
Ulul Azmi. Pengenalan Pemakaian
Tanjak Melayu Pada Mahasiswa Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya. Vol. 1 No.
1,Oktober 2020
No comments:
Post a Comment