Thursday, 26 November 2020

Tanjak Melayu Riau

Syafira Junia Ardhani


            Tanjak berasal dari zaman Kesultanan Melayu Melaka. Sebelum zaman itupun sudah menjadi kewajiban rakyat jelata untuk menutup kepala atau mengikat rambut panjang mereka agar terlihat rapi ketika menghadap raja. Masyarakat Melayu Melaka mendapat ikhtiar untuk menggunakan kain panjang berbentuk segi empat yang dilipat-lipat dan diikat menjadi sejenis alas kepala yang rapi untuk dipakai dalam acara resmi. Seiring berjalanya waktu ikatan kain ini lama-kelamaan makin lama makin cantik mengikut perkembangan zaman, Tanjak ini banyak dimodifikasi atau diubah sesuai mengikut selera pemakainya. Namun, meskipun bentuk Tanjak ini sudah dimodifikasi, akan tetapi teknik melipatnya harus sesuai dengan sebagaimana mestinya. Tanjak ini hanya boleh di gunakan oleh kaum laki-laki, seperti selayaknya Kopiah/Songkok yang hanya di gunakan oleh kaum laki-laki.[1]

            Masyarakat Melayu penggunaan Tanjak diwajibkan terutama bagi kaum pria. Tujuannya agar tampak rapi saat menghadap raja karena rambut pemuda saat itu panjang dan semraut. Tanjak sendiri berawal dari Kesultanan Melayu Malaka. Bahkan sebelum zaman itu penggunaan Tanjak bagi rakyat jelata diwajibkan.Tanjak Melayu Malaka pada awalnya berbahan kain panjang berbentuk segi empat kemudian dilipat-lipat. Seiring berjalannya waktu ikatan itu semakin cantik dan indah. Masyarakat banyak memodifikasi sesuai dengan keinginan si pemakai. Termasuk muncul motif, corak yang menandakan derajat seseorang. Motif dan corak itu setelah berkembang menjadi pembeda. Memasuki zaman kemerdekaan, kepopuleran Tanjak memudar lalu digantikan dengan cepat oleh peci. Itu karena kerajaan meleburkan diri dengan Indonesia. Ditambah tidak ada pencatatan bahwa orang Melayu dahulu memang pengguna Tanjak.[2]

Tanjak merupakan sejenis tutup kepala atau Destar yang dipakai sehari-hari atau pakaian hari atau peristiwa tertentu seperti yang di anjurkan pada, misalnya majlis perkawinan, sunat rasul, hari raya, dan lain-lain. Dijelaskan secara filosofis dengan ungkapan Melayu berikut: yang dipakai berpatut-patut, yang beradat lembaga, yang beradat berketurunan, yang dijaga dan yang dipelihara, yang bertempat dan bertempatan, yang ada asal usulnya, yang banyak nama antara lain Belah Mumbang, Tebing Laksemana, Tumbang Layar, Tebing Runtuh, Tanjak Laksemana, Tanah Terban, Gombak Raja, Daun Sehelas, dan Dua Sejumbai.[3]

Museum Sang Nila Utama yang berada di Pekanbaru, Riau memiliki koleksi beragam jenis Tanjak Melayu. Salah satu Tanjak yang terdapat di Museum Sang Nila Utama ini adalah Tanjak yang berwarna biru laut. Tanjak ini merupakan Tanjak yang bersejarah dan digunakan oleh Laksamana Hang Tuah kala itu. Tanjak ini juga tercipta dari kain songket yang mempunyai simbol kehormatan dan kewibawaan dari Sang Laksamana, sementara warna biru laut pada Tanjak ini mempunyai arti yaitu memiliki hakikat kerendahan hati Sang Laksamana untuk rakyat, menjadi lambang dari kerahmatan dan kezuhudan dari sang pelindung rakyat Melayu ini terhadap rakyatnya sendiri.[4]

Tanjak yang biasa dipakai raja atau hulubalang menggunakan kain tenun asli Siak yang harganya mencapai ratusan ribu rupiah, sementara Tanjak yang dipasarkan dengan corak Melayu berkisar seharga Rp.50.000-Rp.100.000 saja perbuahnya.

Sejarah

            Menurut sebuah perspektif, orang-orang Melayu Sriwijayalah yang pertama kali menggunakan Tanjak ini dalam keseharian mereka.

            Pada tahun 750 Masehi, Sang Jaya Bangsa atau Sang Rama Dhamjaya – Maharaja Sriwijaya yang berpusat di Palembang, Sumatera menyerang kerajaan Langkasuka yang berpusat di Semenanjung Malaya sekarang yang pada waktu itu berada di bawah pemerintahan Raja Maha Bangsa. Hingga pada tahun 775 Masehi, Sriwijaya berhasil menaklukkan Langkasuka dan seluruh tanah jajahannya.

            Dari sinilah pemakaian Tanjak diperkenalkan di Semenanjung. Meski demikian, pengaruh budaya Melayu Langkasuka seperti Kecopong atau Ketopong tetap dominan. Di semenanjung, penggunaan Tanjak secara meluas diyakini pertama kali ketika Seri Tera Buana diresmikan sebagai pemerintah bagi tiga buah kerajaan, yaitu Sriwijiaya, Bintan dan Singapura Tua.

            Dari segi kedudukan geografi, Kepulauan Bintan dan Kepulauan Singapura merupakan sebagian dari Semenanjung Tanah Melayu. Maknanya, masuknya Tanjak pertama kali dari arah selatan menuju ke utara Semenanjung. Di era-era berikutnya, setelah tersebarnya agama Islam, Sultan-sultan Melaka dan Johor-Riau-Lingga-Pahang telah menobatkan putera-putera mereka sebagai raja atau sultan di negeri Perak, Jeram (Selangor), Johor, Terengganu dan Pahang.

Kegunaaan

            Kini, di berbagai daerah salah satunya seperti di kabupaten Siak mempopulerkan kembali yang menjadi ciri dan simbol adat tersebut. Seperti bupati, pejabat, hingga anak muda kembali gemar memakai Tanjak. Tentu saja dengan Tanjak yang bentuk dan variasinya sudah dimodifikasi. Lalu ada juga seperti kita lihat di STAIN Bengkalis yang dimana dosen dan mahasiswa nya memakai Tanjak pada hari tertentu untuk melambangkan jati diri sekolah tinggi tersebut sebagai Kampus Melayu.

            Tanjak dianggap lambang kewibawaan di kalangan masyarakat Melayu. Jadi semakin tinggi dan kompleks bentuknya, menunjukkan semakin tinggi pula lah status sosial si pemakainya. Tanjak biasanya di pakai masyakarat Melayu di seluruh lapisan kelas sosial, baik dilingkungan kerajaan sebagai kalangan bangsawan maupun pada lapisan masyarakat kelas bawah. Begitu seorang pria meninggalkan rumah, biasanya ia mengenakan tanjak yang berfungsi sebagai penutup kepala dari gangguan udara maupun reranting kayu. 

            Pembuatan Tanjak yang lebih berkreasi digagas oleh orang Melayu dahulu yang aktif di bidang gerak tangan. Awalnya Tanjak berbentuk ikat biasa, tapi lama kelamaan cukup bervariasi dan gaya. Kreasi yang pertama kali muncul diberi nama Tebing Runtuh, Belalai Gajah, Pial Ayam, Elang Menyongsong Angin dan lain sebagainya. Penamaan itu juga menyesuaikan bentuk Tanjak yang dibuat sehingga sangat populer di dunia Melayu.

            Di kalangan masyarakat luas, selembar kain yang dilipat sedemikian rupa untuk menghiasi kepala itu tidak hanya disebut dengan Tanjak, namun ada istilah dan nama-nama lain yang turut menyertainya, seperti Tengkolok dan Destar. Namun tentu ada perbedaan di antara masing-masing nama-nama tersebut. Seperti Tengkolok yang memiliki ciri khas berupa lilitan yang meruncing ke atas dengan teknik berlapis-lapis sehingga membentuk ketebalan tertentu dan bahan kain yang digunakan untuk merangkai Tengkolok menggunakan bahan yang bermutu.

            Berbeda dengan Destar, yang dimana lilitannya lebih rendah dan menipis dan bahan kain yang digunakan juga tidak harus dengan harga yang tinggi. Tanjak lebih seperti Tengkolok, namun juga ada mengadopsi dari Destar, maksudnya disini adalah dari segi bahan Tanjak menggunakan bahan yang berkualitas dan atau tidak harus mahal namun menggunakan bahan yang bisa dijadikan untuk bergaya. Jika dari segi lilitan yang berlapis, Tanjak lebih kental mengarah ke Tengkolok sedangkan dari segi model lilitan dan ketinggian, Tanjak lebih memilih destar sebagai acuannya.[5]

Cara Pemakaian Tanjak

            Tanjak Dendam Tak Sudah ini biasanya khusus hanya di pakai oleh sultan. Perbedaannya hanya terletak pada arah lawi dan lipatnya terdapat 7 jenjang. Tanjak sultan mengarah ke kanan sedangkan Tanjak Solok Timbo mengarah ke kiri yang biasanya digunakan pada perhelatan resmi seperti pernikahan dan acara adat lainnya. Berikut merupakan cara pemakaian Tanjak yang benar yaitu dengan jarak 2 jari di atas alis kita dan memposisikan simpul ketupat palas yang harus berada di atas telinga kanan kemudian lawinya otomatis akan mengarah ke kiri sampai ke bagian belakang kepala.

            Tanjak untuk masyarakat biasa arah lawinya kekiri dan Tanjak Solok Timbo mengarah kearah kanan sedangkan lipatannya tidak boleh menggunakan tujuh jenjang lipatan dan biasanya digunakan pada saat mengikuti acara besar seperti penobatan datuk dan perkawinan.

            Pemakaian Tanjak yang arah lawinya mengarah kebelakang dan Tanjak Solo Timbonya mengarah kedepan berarti pemakainya merupakan seorang pelipurlara atau penghibur yang pada zaman dahulu nya merupakan orang yang memiliki talenta pandai dalam membuat lucu atau humor untuk menghibur sultan dan para bangsawan pada masa itu. Namun apabila arah lawinya mengarah kedepan dan Tanjak Solo Timbonya mengarah ke belakang berarti suasana daerah dalam keadaan perang.

Nilai Filosofi Tanjak

            Filosofi Tanjak yang biasanya digunakan masyarakat Melayu di Provinsi Riau, bahwa setiap bentuk Tanjak yang digunakan memiliki makna tersendiri, yaitu:

·         Tanjak Dendam Tak Sudah

Memiliki makna seseorang yang bekerja keras demi melindungi anaknya, ini terlihat dari bentuk-bagian atas Tanjak, tidak di jahit terlihat seperti melambai-lambai dan dibalik bentuk tanjak ini memiliki makna yaitu makna kasih sayang.

·         Tanjak Elang Menyongsong Angin

Memiliki makna kedudukan seorang raja yang menghadang musuh, melambangkan kebijaksanaan dan kecermatan. Bentuk bagian atasnya seperti kepala elang yang lagi memainkan gerak angin.

·         Tanjak Pial Ayam

Tanjak yang di sederhanakan dari Tanjak Elang Menyongsong Angin. Warna Tanjak ini berwarna merah dan dibagian kepala ayam memiliki makna yaitu keberanian.

·         Tanjak Elang Patah Sayap

Memiliki makna kesatria yang terletak dibagian lambaian atasnya yang mirip seperti kepak elang yang patah akibat perkelahian. Jadi bermakna memiliki sifat pemimpin seperti halnya seekor elang ketika harus terbang melawan badai.

·         Tanjak Pari Mudik

Dibagian atas Tanjak ini dibentuk patah kebawah yang menyerupai ikan pari yang memiliki makna yaitu sikap rendah hati kepada sesama.


Kesimpulan

Tanjak berasal dari zaman Kesultanan Melayu Melaka. Sebelum zaman itupun sudah menjadi kewajiban rakyat jelata untuk menutup kepala atau mengikat rambut panjang mereka agar terlihat rapi ketika menghadap raja. Tanjak merupakan sejenis tutup kepala atau Destar yang dipakai sehari-hari atau pakaian hari atau peristiwa tertentu seperti yang di anjurkan pada, misalnya majlis perkawinan, sunat rasul, hari raya, dan lain-lain.

Tanjak yang biasa dipakai raja atau hulubalang menggunakan kain tenun asli Siak yang harganya mencapai ratusan ribu rupiah, sementara Tanjak yang dipasarkan dengan corak Melayu berkisar seharga Rp.50.000-Rp.100.000 saja perbuahnya.

Tanjak dianggap lambang kewibawaan di kalangan masyarakat Melayu. Jadi semakin tinggi dan kompleks bentuknya, menunjukkan semakin tinggi pula lah status sosial si pemakainya. Tanjak biasanya di pakai masyakarat Melayu di seluruh lapisan kelas sosial, baik dilingkungan kerajaan sebagai kalangan bangsawan maupun pada lapisan masyarakat kelas bawah. Begitu seorang pria meninggalkan rumah, biasanya ia mengenakan tanjak yang berfungsi sebagai penutup kepala dari gangguan udara maupun reranting kayu. 

Nilai filosofi Tanjak yaitu Tanjak Dendam Tak Sudah, Tanjak Elang Menyongsong Angin, Tanjak Pial Ayam, Tanjak Elang Patah Sayap, dan Tanjak Pari Mudik.

 


[1]Iskandar, J. 2018. Destar Alam Melayu. Akademi Semi Tradisional Warisan Melayu. Kuala Lumpur. Hal. 12

[2]Ulul Azmi. Pengenalan Pemakaian Tanjak Melayu Pada Mahasiswa Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya. Vol. 1 No. 1,Oktober 2020. Hal. 2 dan 6

[3]Riau, L. A. "Pakaian Melayu Riau". https://lamriau.id/budaya-melayu-riau-bab-6/. Diakses 25 November 2020.

[4]Kontributor. "Koleksi Benda Sejarah Peninggalan Kebudayaan Melayu di Museum Sang Nila Utama Pekanbaru, Provinsi Riau", Agustus. 2020, https://hit.politik.us/koleksi-benda-sejarah-peninggalan-kebudayaan-melayu-di-museum-sang-nila-utama-pekanbaru-provinsi-riau/4/. Diakses 25 November 2020.

[5]Blogspot. "Tanjak Melayu: Pengertian, Sejarah dan Kegunaan" http://tanjakmelayuriau.blogspot.com/2018/05/tanjak-melayu-pengertian-sejarah-dan.html. Diakses 25 November 2020.

 

DAFTAR PUSTAKA

Blogspot. "Tanjak Melayu: Pengertian, Sejarah dan Kegunaan" http://tanjakmelayuriau.blogspot.com/2018/05/tanjak-melayu-pengertian-sejarah-dan.html. Diakses 25 November 2020.

Iskandar, J. 2018. Destar Alam Melayu. Akademi Semi Tradisional Warisan Melayu. Kuala Lumpur

Kontributor. "Koleksi Benda Sejarah Peninggalan Kebudayaan Melayu di Museum Sang Nila Utama Pekanbaru, Provinsi Riau", Agustus. 2020, https://hit.politik.us/koleksi-benda-sejarah-peninggalan-kebudayaan-melayu-di-museum-sang-nila-utama-pekanbaru-provinsi-riau/4/. Diakses 25 November 2020.

Riau, L. A. "Pakaian Melayu Riau". https://lamriau.id/budaya-melayu-riau-bab-6/. Diakses 25 November 2020.

Ulul Azmi. Pengenalan Pemakaian Tanjak Melayu Pada Mahasiswa Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya. Vol. 1 No. 1,Oktober 2020

 

No comments:

Post a Comment

MINUMAN KHAS MELAYU RIAU

Salsabila Asri Negara Indonesia memiliki berbagai macam masyarakat dengan latar belakang dan keinginan yang berbeda. Indonesia juga memp...