Yulia Nanda Vika
Cara hidup
manusia dengan berbagai macam sistem tindakan dijadikan sebagai objek
penelitian dan analisis oleh ilmu antropologi sehingga aspek belajar merupakan
aspek pokok. Itulah sebabnya dalam memberi pembatasan terhadap konsep
“kebudayaan” atau culture, ilmu antropologi berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya.
Kalau dalam bahasa sehari-hari “kebudayaan” dibatasi hanya pada hal-hal yang
indah (seperti seni tari, seni rupa, seni suara, kesusasteraan dan filsafat)
saja. sedangkan dalam ilmu antropologi jauh lebih luas sifat dan ruang
lingkupnya. Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[1]
Hal tersebut berarti bahwa hampir
seluruh tindakan manusia dalah kebudayaan karena hanya sedikit tindakan manusia
dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu
hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat
proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia
yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen sejak ia lahir, (seperti
makan, minum, atau berjalan dengan kedua kakinya), juga dirombak olehnya
menjadi tindakan berkebudayaan. Manusia makan pada
waktu-waktu tertentu yang dianggapnya wajar dan pantas, ia makan dan minum
dengan alat-alat, cara-cara dan sopan santun atau protokol yang sering kali
sangat rumit, harus dipelajarinya dahulu dengan susah payah. Manusia berjalan
tidak hanya menurut wujud biologisnya yang telah ditentukan oleh alam, tetapi
merombak cara berjalannya dengan gaya seperti prajurit, berjalan dengan gaya
lemah lembut, berjalan seperti peragawati dan sebagainya, yang semuanya harus
dipelajarinya dahulu. Itulah kenapa kebudayaan
hanya dimiliki oleh makhluk manusia yang bahwa proses evolusi manusia, yang
kemudian menyebabkan bahwa manusia melepaskan diri dari alam kehidupan
makhluk-makhluk primat lainnya.