Thursday, 3 December 2020

Pembangunan Sebagai Proses Perubahan Dalam Kesinambungan Masyarakat Indonesia

Fajar Prasetyo


Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan. Perubahan-perubahan tersebut bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang menelaahnya, dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang menyolok, adapula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, akan tetapi ada pula yang berjalan cepat[1]. Memiliki unsur-unsur sosial seperti kelompok-kelompok sosial, lembaga-lembaga sosial, kebudayaan, kekuasaan, dan stratifikasi. Unsur-unsur sosial dalam masyarakat senantiasa berkembang dan berubah. Masing-masing unsur tersebut sifat dan perkembangannya berbeda-beda karena mengalami perubahan akibat pengaruh lingkungan.

Dinamika atau perubahan ini terjadi karena manusia sebagai makhluk sosial saling berinteraksi antara individu satu dengan individu yang lain. Interaksi tersebut akan menimbulkan perubahan sosial budaya[2]. Dinamika peradaban manusia dalam sejarahnya selalu tumbuh dan berkembang secara dinamis sejalan dengan perubahan perubahan yang terjadi dalam setiap sejarah kehidupan manusia itu sendiri. Sebagai makhluk yang terus mencari dan menyempurnakan dirinya, manusia senantiasa berusaha dan berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya untuk tetap eksis tengah kebersamaannya di tengah manusia lainnya[3].

Dinamika atau perubahan sosial bisa diartikan sebagai semua perubahan yang terdapat pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan atau dinamika pada lembaga-lembaga sosial itu selanjutnya mempunyai perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat itu yang terdiri dari suatu kelompok-kelompok sosial. Masih banyak faktor yang menjadi penyebab daripada perubahan sosial yang dapat disebutkan, ataupun mempengaruhi proses suatu perubahan sosial.

Perubahan yang terjadi untuk masyarakat Indonesia sebenarnya sudah ada yaitu sejak zaman dahulu, tapi perubahan yang direncanakan oleh masyarakat sebagai suatu bangsa dimulai sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Mulai saat itu, bangsa Indonesia telah menyatakan atau menetapkan bahwa kehidupan masyarakat yang merdeka, berdaulat, dan bebas dari pengaruh bangsa lain. Bangsa Indonesia mempiunyai hak dalam mengubah nasibnya sendiri sesuai dengan kepentingan hidup masyarakat. Untuk itu, ditetapkan UUD 1945 sebagai dasar negara dan Pancasila sebagai falsafah daripada hidup bangsa.

1.      Pemeliharaan Nilai-nilai Luhur Sebagai Upaya Mempertahankan Kesinambungan Masyarakat Indonesia

   Suatu proses dalam penyesuaian situasi dan kondisi masyarakat yang mana pada umumnya rawan karena mulai ditinggalnya nilai-nilai lama, sedangkan nilai yang baru belum menjadi suatu lembaga. Semuaa perubahan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila diharapkan akan tetap menjaga keutuhan dan kesinambungan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia yang berkesinambungan adalah masyarakat yang kuat, bersatu, dan dinamis.

2.      Pembangunan dan Modernisasi

          Sebuah masyarakat yang sedang mengalami pembangunan sekaligus juga di dalamnya sedang mengalami proses modernisasi, hal ini sesuai dengan teori perubahan social yang bersifat linear. Sebuah masyarakat modern adalah masyarakat yang memiliki ciri-ciri modern. Ada sejumlah ciri suatu masyarakat dikatakan modern.

          Perubahan sosial yang direncanakan seringkali disebut dengan pembangunan. Konsep pembangunan mengandung makna sebuah perubahan positif yang direncanakan, terarah, dan dilakukan dengan sadar/disengaja. Konsep pembangunan dalam beberapa hal seringkali kali saling bersamaan dengan konsep modernisasi. Karena itu seringkali orang menggunakan kata pembangunan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur modernisasi. Begitu pula kata modernisasi sering digunakan tumpang tindih dengan kata pembangunan

v  Ciri-ciri Masyarakat tradisional yaitu:

a.       Efektivitas yaitu hubungan antar anggota masyarakat berdasarkan kasih sayang.

b.      Orientasi kolektif yaitu mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau kebersamaan seperti gotong royong.

c.       Partikularisme yaitu segala sesuatu ada hubungannya dengan sesuatu yang berlaku didaerah tertentu dan ada hubungannya dengan kebersamaan.

d.       Askripsi yaitu dimana sesuatu yang mereka miliki didapat dari pewaris generasi sebelumnya.

e.       Diffuseness(kekaburan) yaitu dimana dalam mengungkapkan sesuatu tidak langsung atau terus terang.

v  Ciri-ciri Masyarakat modern yaitu:

a.       Netralis efektif yaitu bersikap netral

b.      Lebih mementingkan kepentingan individu

c.       Bersifat universal atau menerima sesuatu dengan obyektif

d.      Prestasi yang lebih diutamakan

          Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang kehidupannya masih kental dengan adat istiadat didaerah tertentu. Sedangkan Masyrakat Modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya memiliki pengenalan suatu daripada nilai budaya yang arahnya adalah pada kehidupan dalam peradaban masa kini.

          Dalam hal ini ada suatu peristiwa yang terjadi dalam suatu proses perubahan yang disebut modernisasi yaitu mencakup suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial menuju pola ekonomis dan politik yang menjadi ciri-ciri sebuah Negara yang stabil. Perbedaan antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern dapat dilihat dari segi pola pemikiran mereka, kebudayaan, kepercayaan yang mereka anut, dari segi tempat tinggal, alat yang mereka gunakan, pakaian yang mereka kenakan, bahasa yang mereka gunakan, kehidupan sosialnya, alat komunikasi dan transformasi.

          Namun dampak negative dari modernisasi adalah luntur atau pudarnya norma atau nilai-nilai dalam masyarakat tertentu, Tak lepas dari globalisasi yang menyebabkan masyarakat modern mengakibatkan lebih mementingkan kehidupan pribadi mereka tanpa memperdulikan masyarakat banyak.

3.      Faktor – Faktor Budaya yang Menghambat Pembangunan

   Proses pembangunan tidak selalu berjalan mulus, karena dihadapkan bebarapa permasalahan, salah satunya permasalahan mentalitas atau budaya. Ada budaya - budaya yang menghambat proses pembangunan itu sendiri. Salah satu contoh hambatan budaya itu seperti keterkaitan orang Jawa terhadap tanah yang mereka tempati. Tanah secara turun temurun diyakini sebagai pemberi berkah kehidupan. Mereka enggan meninggalkan kampung halamannya atau beralih pola hidup sebagai petani.

         Padahal hidup mereka umumnya miskin. Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan persepsi atau sudut pandang, misalnya pada awal program Keluarga Berencana terjadi penolakan oleh sebagian masyarakat, Mereka beranggapan bahwa banyak anak adalah banyak rezeki. Hambatan budaya yang berkaitan dengan faktor psikologis, seperti upaya untuk mentransmigrasikan penduduk dari daerah yang terkena bencana alam banyak mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran penduduk bahwa di tempat yang baru, hidup mereka akan lebih sengsara dibandingkan dengan hidup mereka di tempat yang lama.

         Masyarakat daerah-daerah terpencil yang kurang komunikasi dengan masyarakat luar, karena pengetahuannya serba terbatas seolah-olah tertutup untuk menerima program-program pembangunan. Sikap tradisioanalisme yang berprasangka buruk terhadap hal-hal baru. Sikap ini sangat mengagung-agungkan budaya tradisional sedemikian rupa, yang menganggap hal-hal baru itu akan merusak tatanan hidup mereka yang sudah mereka miliki secara turun-temurun. Sikap Etnosentrisme adalah sikap yang membesar-besarkan budaya suku bangsanya sendiri dan budaya suku bangsa lain dianggap rendah. Sikap semacam ini akan mudah memicu timbulnya kasus-kasus sara, yakni suku, agama, ras, dan antar golongan, sikap seperti ini akan menghambat terciptanya integrasi nasional.

 

Kesimpulan

Arti daripada perubahan sosial adalah sebagai semua perubahan yang terdapat pada lembaga-lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Tujuan yang terdapat pada perubahan adalah untuk membentuk manusia seutuhnya dan bagi semua masyarakat Indonesia, berarti pula menjaga dan melanjutkan kesinambungan masyarakat Indonesia. Jika tujuan tersebut tercapai maka kesinambungan masyarakat Indonesia akan tercapai. Dalam proses penyesuaian situasi dan kondisi masyarakat umumnya rawan karena nilai-nilai lama mulai ditinggalkan, sedangkan nilai baru belum melembaga. Masyarakat Indonesia yang berkesinambungan adalah masyarakat yang kuat, bersatu, dan dinamis.

Pembangunan memiliki kandungan makna yaitu sebuah perubahan sosial secara positif yang direncanakan, terarah, dan dilakukan dengan disengaja. Modernisasi merupakan usaha penyesuaian hidup dengan kondisi dunia sekarang ini. Modernisasi dapat terwujud melalui beberapa syarat, yaitu Cara berpikir ilmiah yang institusionalized, sistem administrasi negara yang baik yang benar-benar mewujudkan birokrasi, sistem pengumpulan data yang baik dan teratur, cara penggunaan alat komunikasi massa yang baik dan teratur, tingkat organisasi yang tinggi, disiplin yang tinggi, dan adanya sentralisasi wewenang. Pembangunan tidak selalu berjalan mulus, karena dihadapkan bebarapa permasalahan, salah satunya permasalahan mentalitas atau budaya, Ada budaya-budaya yang menghambat proses pembangunan baik yang bersifat psikologis, persepsi yang keliru , tradisi , dan sikap mental yang tidak mendukung.

 

1Lumintang, Juliana. Pengaruh Perubahan Sosial Terhadap Kemajuan Pembangunan Masyarakat Di Desa Tara-Tara I. E-journal Acta Diurma. Vol. 4, No. 2, 2015. Hal. 1.

2Ruswanto. Sosiologi untuk SMA / MA kelas XII Program Studi Ilmu Sosial. Jakarta.2009. Hal.17.

3Marius, Jelamu Ardu. Perubahan Sosial. Jurnal Penyuluhan. Vol. 2, No. 2, 2006. Hal. 126.

 

DAFTAR PUSTAKA 

Lumintang, Juliana. Pengaruh Perubahan Sosial Terhadap Kemajuan Pembangunan Masyarakat Di Desa Tara-Tara I. E-journal Acta Diurma. Vol. 4, No. 2, 2015.

Ruswanto. 2009. Sosiologi untuk SMA / MA kelas XII Program Studi Ilmu Sosial. Departemen Pendidikan Nasional.  Jakarta.

Marius, Jelamu Ardu. Perubahan Sosial. Jurnal Penyuluhan. Vol. 2, No. 2, 2006.

TENUN SONGKET MELAYU RIAU

Rika Amelia


Songket diambil dari kata sungkit yang berarti mencungkil juga terdapat proses mengait.  Terdapat banyak istilah dari berbagai daerah di Indonesia, seperti dari Palembang yang menyebut songket berasal dari kata songko yang berarti saat pertama kali orang menggunakan benang emas untuk benang hiasan sebuah ikat kepala. Di Bali kata nyuntik dalam proses menenun dapat diartikan juga sebagai perencanaan motif. Di daerah Sulawesi Tengah disebut sarung subi yaitu benang emas dan perak yang terdapat pada kain songket. Di sumbawa, songket berarti kain tenun yang dihias dengan benang perak dan emas. Penggunaan istilah-istilah songket ini berbeda-beda di setiap daerah karna tampak dari teknik pembuatannya yang berbeda pula.[1]

Tenun songket pertama kali diperkenalkan oleh seorang pengrajin bernama Wan Siti Binti Wan Karim yang didatangkan dari Kerajaan Terengganu dan dibawa ke Siak Sri Indrapura pada masa Kerajaan Siak diperintah oleh Sultan Sayid Ali. Tengku Maharatu adalah orang yang berperan penting dalam perkembangan kain tenun songket Melayu di Riau. Selain itu, beliau merupakan  permaisuri dari Sultan Syarif Kasim II yang kedua, setelah permaisuri pertama yaitu Tengku Agung meninggal dunia. Dia melanjutkan perjuangan kakaknya mengajarkan cara bertenun kepada kaum perempuan di Siak sehingga mereka bisa meningkatkan kedudukan kaum perempuan di Siak.[2]

Kerajinan tenun songket masih bertahan hingga saat ini disebabkan peran aktif masyarakat pengikut dari budaya tersebut, yang selalu memakai dan mempertahankan kerajinan tenun songket. Penggunaan tenun songket juga sering dijumpai pada setiap waktu dan kesempatan. Dilihat di masa sekarang penggunaan tenun songket memiliki beberapa fungsi yaitu:[3]

        1.      Fungsi Pakaian

Maksud dari fungsi pakaian yaitu masyarakat menggunakan tenun songket sebagai pakaian dan kelengkapannya. Saat ini kain tenun songket masih digunakan untuk pakaian, baik pakaian adat maupun pakaian masyarakat umum. Akan tetapi kain tenun songket lebih banyak digunakan untuk berbagai aktivitas seperti pakaian kantor. Selain digunakan untuk pakaian, kain tenun songket juga bisa digunakan sebagai perlengkapan seperti tas, dompet, sendal maupun sepatu. Hal ini disebabkan karena dalam berpakaian orang-orang cenderung memakai seragam agar lebih serasi

        2.      Fungsi Estetis

Selain untuk pakaian, kain tenun songket juga berfungsi sebagai nilai estetis, dimana orang-orang memakai kain tenun songket bukan sekedar menutupi tubuh melainkan untuk keindahannya. Keindahannya dapat terlihat dari motif-motif di permukaan kain tenun songket tersebut.

        3.      Fungsi Ekonomi

Saat ini kain tenun songket Melayu dijadikan mata pencarian bagi sebagian kalangan terutama pengrajin kain tersebut. Dahulu kain tenun Siak dibuat untuk dijadikan pakaian sendiri, untuk keperluan acara besar seperti pernikahan atau acara sakral lainnya dan tidak diperjual belikan, berbeda dengan sekarang dimana kain tenun songket Siak dibuat dan dapat diperjual belikan. Pada masa sekarang kain tenun songket memiliki nilai ekonomis yang tinggi, menjualnya juga cukup mudah dan dapat dipasarkan dimana-mana.

        4.      Fungsi Sosial

Kain tenun songket juga mempunyai fungsi sosial, yaitu jika seseorang memakai kain tenun songket maka dapat menunjukkan status dan hubungan sosial antara satu dengan yang lainnya. Namun ada ketentuan yang sudah disepakati walau tidak ada bukti tertulisnya, yaitu untuk warna kuning dan hitam tidak boleh dipakai oleh sembarang orang karena warna itu hanya boleh dipakai untuk datuk-datuk atau keturunan kerajaan saja. Akan tetapi selain dari warna itu boleh dipakai oleh siapa saja termasuk pendatang, sesuai dengan pepatah “dimana bumi dipijak disitu langit di junjung”.

Motif Tenun Songket Melayu Riau

Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia memiliki budaya yang beraneka ragam, salah satunya adalah tenun songket. Tenun songket sendiri memiliki banyak motif yang mana tiap motif memiliki arti tertentu dan mecerminkan pandangan hidup manusia. Ada 4 pusat tenun di Riau yaitu di Rokan Hilir, Bengkalis, Siak dan Indragiri Hulu dan memiliki motif yang berbeda di setiap daerah, kurang lebih ada 140 macam motif dari Riau.

Berikut ini merupakan motif yang berasal dari  siak:

        1.      Pucuk Rebung

Motif ini memiliki makna kesabaran dan kesuburan. Bentuk motif ini menyerupai pucuk tunas bambu yang baru tumbuh dan berbentuk runcing. Bagian pada pangkalnya besar dan akan semakin kecil keatas. Pada permukaannya dikelilingi daun-daun muda berbentuk segitiga yang ujungnya runcing seperti pedang.

        2.      Siku Keluang

Motif Siku Keluang bermakna kepribadian yang memiliki sikap dan tanggung jawab. Motif ini berbentuk seperti sudut sayap kelelawar yang melambangkan nilai tanggung jawab yang harus diamalkan di kehidupan sehari-hari.

        3.      Bunga Cengkih

Pada motif ini, bunga dan kuntumnya menjadi “mahkota” di dalam hiasannya dan memiliki arti kasih sayang, bersih dan lemah lembut, termasuk pada motif bunga cengkih ini.

        4.      Tampuk manggis

Memiliki arti manis, sopan santun dan berbudi pekerti.

        5.      Semut beriring

Motif ini memiliki arti kerukunan dan gotong royong karena tecermin dari sifat semut yang senantiasa bekerja sama dan bila bertemu saling merangkul.

        6.      Itik Pulang Petang

Motif ini memiliki arti kerukunan dan persatuan, hal in tecermin dari sikap itik yang selalu beriringan dengan serasi dan rukun sehingga bisa menjadi contoh kehidupan.

        7.      Awan Larat

Motif ini memiliki arti budi dan kearifan serta lemah lembut. Motif ini berbentuk awan yang tertiup angin dan ada juga yang menyebutkan jika nama ini berasal dari nama anak kecil bernama awing yang menggaris di tanah hingga melarat-larat dan menghasilkan bentuk yang sangat indah.

     Motif yang beragam bentuk dan ditempatkan pada pakaian adat maupun pakaian resmi  maka pakaian yang terbuat dari songket tersebut akan memberikan makna yang sangat baik bagi yang memakainya maupun yang melihatnya. Dan dari sini kita dapat mengartikan bahwa kain songket dapat memberikan simbol adat dan marwah yang tinggi.

      Abdul Malik, dkk (2004), mengatakan bahwa pakaian orang melayu yang terbuat dari tenun yang kaya akan khazanah kebudayaan harus mempunyai nilai yang sangat tinggi dan bukan hanya sekedar berfungsi melindungi tubuh saja, tetapi lebih dari itu, seperti berfungsi menutup malu, menjemput budi, menjunjung adat dan menjunjung bangsa.

     Hal ini memberikan arti bahwa orang melayu memiliki nilai pragmatis, dan juga bernilai religius, adat, kultural dan estetis. Sesuai ungkapan dalam budaya Melayu yang berbunyi “pantang memakai memandai-mandai” artinya pakaian yang terbuat dari tenun songket tidak bisa dipakai sembarang tempat, melainkan mengikuti ketentuan yang diatur oleh adat.

Peraturan Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Hasil Tenun Songket Melayu

        Perlindungan hukum pada songket bukan hal baru lagi bagi bangsa Indonesia karena masih perlu adanya kesadaran dan timbulnya minat serta rasa bangga untuk menciptakan karya intelektual dan penemuan khususnya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Selain itu perlunya menanamkan rasa tanggung jawab yang tinggi agar memanfaatkan karyanya dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat dan tidak hanya menjamin kepastian perlindungan hukum untuk pribadi.

          Songket merupakan harta berharga dalam budaya yang memiliki peran sebagai jati diri orang Melayu. Pakaian berfungsi untuk menutupi badan juga mengikuti norma-norma sosial. Di dalam agama juga menganjurkan tata cara dan sopan santun dalam berpakaian. Selain itu dalam berpakaian terbentuk nilai-nilai keindahan dan etika masyarakat yang mendukungnya. Pakaian ini berfungsi di berbagai aktivitas adat-istiadat, seperti dalam upacara sunat Rasul, mengabsahkan pemimpin, dan lain sebagainya.

       Tujuan perlindungan hukum hak cipta, yaitu untuk menetapkan hak pencipta dan menjamin perlindungan terhadap karya yang berkaitan dengan pemanfaatan kebudayaan yang adil dan benar juga dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan perdaban umat manusia. [4]

       Perlindungan atas karya cipta yang dibutuhkan oleh penciptanya adalah:

  1. Terdapatnya otentifikasi atas penciptaan dari sebuah karya cipta
  2. Dapat memberikan jaminan terhadap integritas dari karya cipta
  3. Penyalinan secara sah, penyebarluasan/mengkomunikasikan lebih lanjut kepada publik adalah tidak diperkenankan apabila pencipta tidak menghendakinnya
  4. Seorang pencipta mempunyai kepentingan untuk mengkomersilkan karya cipta secara elektronik
  5. Karya cipta dapat diberikan secara terbatas kepada pihak yang berwenang
  6. Akses terhadap pencipta mempunyai kepastian akan adanya pembayaran yang sepadan atas karya ciptanya

 

KESIMPULAN

Tenun songket memiliki arti mencungkil dan mengait. Diperkenalkan oleh Wan Siti Binti Wan Karim dari Kerajaan Terengganu pada masa Sultan Sayid Ali. Di masa sekarang tenun songket memiliki fungsi sebagai pakaian, keindahan, ekonomi dan sosial. Motif songket ini pun memiliki lebih kurang 140 jenis, yang mana setiap motifnya memiliki makna bagi yang melihat maupun yang memakai.

 


[1]  Lestari, S., & Riyanti, M. T. (2017). Kajian Motif Tenun Songket Melayu Siak Tradisional Khas Riau. Jurnal Dimensi DKV Seni Rupa dan Desain. 2017. Hal. 37

[2] Riau Daily Photo. “Sejarah Tenun Songket Sial Melayu Riau”, http://www.riaudailyphoto.com/2012/01/sejarah-tenun-songket-siak-melayu-riau.html. Diakses 28 November 2020

[3]  Guslinda, G. Kerajinan Tenun Songket Melayu Riau Untuk Pelestarian Kearifan Lokal. Jurnal Pendidikan Guru. Hal. 127

[4]  Hanifah, M. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Hasil Tenun Songket Melayu Menurut Undang-Undang No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Jurnal Ilmu Hukum.

  

DAFTAR PUSTAKA

Guslinda, G. Kerajinan Tenun Songket Melayu Riau Untuk Pelestarian Kearifan Lokal. Jurnal Pendidikan Guru, 2(1), 124-130.

Hanifah, M. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Hasil Tenun Songket Melayu Menurut Undang-Undang No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Jurnal Ilmu Hukum, 6(2), 183-188.

Lestari, S., & Riyanti, M. T. (2017). Kajian Motif Tenun Songket Melayu Siak Tradisional Khas Riau. Jurnal Dimensi DKV Seni Rupa dan Desain, 2(1), 33-48.

Riau Daily Photo. “Sejarah Tenun Songket Sial Melayu Riau”, http://www.riaudailyphoto.com/2012/01/sejarah-tenun-songket-siak-melayu-riau.html. Diakses 28 November 2020

 

TOKOH SOSIOLOGI INDONESIA: MOCHTAR NAIM

Nofia Firdayanti

  

Mochtar Naim  lahir pada tanggal  25 Desember 1932 di Nagari Sungai Penuh Kerinci, Jambi. Beliau merupakan  seorang antropolog dan sosiolog ternama di  Indonesia. Tokoh yang sangat disegani. Selain sebagai seorang sosiolog ternama, Mochtar Naim juga tampil sangat  terkemuka sebagai ahli Minangkabau. Di beberapa kali seminar dan dalam tulisan-tulisannya, Mochtar sendiri kerap kali membagi budaya Nusantara dalam dua konsep aliran yaitu polarisasi budaya yang digambarkan Mochtar adalah konsep budaya yang bercirikan sentrifugal yang diwakili oleh budaya M yaitu Minangkabau, dan berlawanan dengan konsep budaya sentripetal-sinkretis yang diwakili oleh budaya J yaitu  Jawa. [1]

Nama seorang Mochtar Naim dan dunia Minangkabau seolah-olah di ibaratkan dalam dua sisi mata uang yang sulit untuk dipisahkan. Karena dalam sejarah telah mecatat bahwa Mochtar Naim

Wednesday, 2 December 2020

TOKOH ANTROPOLOGI : RUTH BENEDICT

Dewi Ayuni             


Ruth Fulton Benedict ( lahir 5 juni 1887 di New York, Amerika Serikat -meninggal 17 September 1948 di New York pada umur 61 tahun). Ruth Benedict adalah seorang antropolog berkebangsaan Amerika yang menciptakan teori yang berpengaruh besar pada antropologi budaya, khususnya di bidang budaya dan kepribadian. Benedict lahir dari pasangan Beatrice (Shattuck) dan Frederick Fulton. Ayahnya adalah seorang dokter dan ahli bedah homeopati, sedangkan ibunya bekerja di kota sebagai guru sekolah. Benedict lulus di Perguruan Tinggi Vasar pada tahun 1909, kemudian ia tinggal di Eropa selama satu tahun. Sepulang dari Eropa, Benedict menetap di California dan mengajar di sekolah – sekolah perempuan. Pada tahun 1914 Benedict kembali lagi ke New York, kemudian menikah dengan Stanley Benedict, namun pernikahan Benedict tidak berlangsung lama karena mereka bercerai beberapa tahun setelah menikah. Pada musim gugur tepatnya tahun 1919, Benedict terdaftar di sebuah sekolah

Sunday, 29 November 2020

Tokoh Sosiologi Indonesia Arief Budiman

Raisya Rezki Cahyani


Soe Hok Jin atau yang dikenal dengan nama Arief Budiman adalah aktivis, sosiolog, penulis dan intelektual publik, yang berjasa mengenalkan pemikiran kritis di masa Orde Baru. Beliau merupakan seorang aktivis demonstran Angkatan '66 bersama dengan adiknya, Soe Hok Gie ketika ia masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta. Ia merupakan penanam benih perlawanan terhadap penindasan rezim Orde Baru dengan memperkenalkan ide-ide radikal kepada para siswa, pertama di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dan kemudian melalui bukunya Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Teori Pembangunan Dunia Ketiga). Salah satu kiprahnya yang paling dikenal adalah menyerukan Golput “Golongan Putih” bersama intelektual dan pemikir liberal yang menolak Pemilu 1971. Pemilihan umum ini pertama kali digelar pemerintahan Orde Baru dengan partai Golkar sebagai mesin politik Soeharto yang menang mutlak.[1]

Kakak Sok Hok Gie ini lahir Jakarta pada tanggal 3 Januari 1941. Ia adalah putra ketiga  dari Soe Lie Piet (Salam Sutrawan) seorang wartawan dan penulis keturunan Tionghoa. Ia lulus Sekolah dasar tahun 1955, Sekolah Menengah Pertama tahun 1958, dan pada 1961 lulus SMA Kanisus Jakarta. Setelah itu ia melanjutkan studi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan lulus tahun 1968. Sejak mahasiswa ia telah aktif di berbagai kegiatan, antaralain menulis di Star weekly, Indonesia Raya, Sinar Harapan, Kompas, Tempo, dan sebagainya. Saat menjadi mahasiswa ia pernah mengungkap korupsi Ibnu Sutowo, Direktur Pertamina. Ia juga dikenal membuat gerakan anti pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Selama masa ini ia dikenal sebagai demonstran anti Soeharto. Sejak mahasiswa Arief sudah aktif dalam kancah politik Indonesia, Tahun 1966 hingga 1972 ia menjadi redaksi majalah Horison dan ikut menandatangani manifesto kebudayaan. Pada 1968 hingga 1971 ia kemudian menjadi wakil ketua IKJ dan anggota BSF. Setelah kelulusannya Ia mendapat beasiswa dari fulbright untuk belajar sosiologi di Harvard University dan memperoleh gelar ph.D disana dan disertasi the Mobilization and state  strategy in the democratic Transition, The Casr off Allande's Chile.

Perjalanan karir yang pernah ia geluti semasa hidupnya antaralain pernah bekerja sebagai staff Association for cultural freedom, Paris tahun 1973. Pernah menjadi asisten peneliti Advanced studies Princeton University, Amerika Serikat tahun 1977-1978. Menjadi staf pengajar di University of California di Santa Cruz tahun 1978-1981. Pernah menjadi staf pengajar UK Satya Wacana di Salatiga, Jawa Tengah tahun 1981-1894 hingga ia dikeluarkan setelah terjadinya konflik internal. Sejak 1997 ia menjadi guru besar di Universitas Melbourne Australia di bidang ilmu ekonomi dan politik.[2]

             Pada masa Orde Baru tepatnya 1970, masa itu mulai dijadikan sarang untuk menangguk keuntungan pribadi oleh para akademisi dan tentara dengan jalan pemerintahan yang non-demokratis. Arief Budiman dan kawan-kawannya mantan demonstran 1966 menjadi gerah akan situasi tersebut. Arief menggagaskan gerakan “Mahasiswa Menggugat”, mereka melakukan perjalanan panjang dari Kampus Universitas Indonesia di Salemba hingga Lapangan Banteng yang jaraknya hampir 29 Km. Para demonstran membagikan selebaran berisi kecaman terhadap perselingkuhan antara  para jenderal dengan para profesor di sepanjang jalan mereka dalam menyuarakan aksi.

            Setelah aksi Arief dan rekan itu, agen-agen Opsus (Operasi Khusus) mulai menyusup ke kampus-kampus. Dewan Mahasiswa dikooptasi, dan para aktivis mahasiswa bersuara keras mulai dieliminasi. Situasi tersebut menjadikan Arief dan kawan-kawannya kecewa. Arieh dan kawan-kawannya kemudian mendirikan Balai Budaya sebagai wadah untuk tetap terus bersuara keras terhadap segala penyelewengan cita-cita semula Orde Baru. Sejarah mencatat, Arief terlibat dalam berbagai gerakan oposisi. Dia menjadi pelakon utama dalam aksi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Juga dalam gerakan Golongan Putih “Golput” yang menentang segala macam monopoli politik menjelang Pemilu 1971 yang dilakukan partai Kuning, Arief Budiman adal demonstran yang ada di garis terdepan. Ketika berlangsung  pertandingan sepak bola nasional di Stadion Utama Senayan (Stadion Gelora Bung Karno) yang dihadiri ribuan orang, para aktivis Golongan Putih membentangkan spanduk raksasa berbunyi: “Golput Menjadi Penonton yang Baik”. Pemerintah Orde Baru naik pitam tentunya atas aksi ini. Lewat Ali Moertopo, Asisten Pribadi Presiden Soeharto disebutlah bahwa Golput sebagai gerakan tak ada artinya dengan komentar “Golput itu kentut” yang diujar Ali kepada media.[3]

Seorang Arief Budiman sangat menentang Rezim Tak Lazim ORBA oleh Soeharto dan Anteknya. Hal ini dengan jelas ia gambarkan dalam Buku yang berjudul Zaman Peralihan. Dalam tulisannya tersirat dengan sarkas bahwa pemerintahan pada masa itu memiliki mimpi yang tinggi dengan jalan tanpa solusi. Langsung melakukan perubahan besar tanpa melakukan perubahan kecil berdampak besar yang akhirnya hanya melahirkan kesenjangan saja karena kesukaran sang pemimpin menjadi Macan Kertas Ala Soekarno.

“Pemerintah Soeharto juga punya cita-cita yang tidak kalah besarnya. Soeharto bercita-cita agar masyarakat desa Indonesia (yang merupakan sebagian besar rakyat Indonesia) dapat menikmati hidup yang lebih layak. Jauh lebih mudah membuat sebuah monumen dengan emas di pucuknya, daripada membuat dan memperbaiki 1000 km jalan raya. Jauh lebih mudah membuat universitas di Kalimantan Tengah dari pada membangun 100 buah SD di desa-desa. Usaha-usaha Adam Malik dan kawan-kawan mencari kredit baru, menunda pembayaran utang-utang adalah bagian permulaan daripada usaha besar ini. Tetapi apakah pemuda-pemuda lulusan SMP di Wonosoba menyadari soal ini?”. Dalam kutipan berikut juga tergambar reaksi dari Arief Budiman yang tidak suka akan pemerintahan Soeharto yang terlalu pragmatis “Ambillah contoh soal rule of law. Masyarakat Indonesia telah sangat haus terhadap tertib hukum. Setiap hari kita dengar cerita-cerita tentang oknum-oknum militer yang menampar rakyat biasa, tentang ngebut anak-anak penggede, atau tentang penyelundupan yang dilindungi. Reaksi pertama muak, lalu apatis. Jika Soeharto dan pemerintahnya berhasil menunjukkan, bahwa ada kesungguhan pemerintah dalam menegakkan rule of law, maka dukungan masyarakat akan bertambah terasa”.[4]

            Yang melatar belakangi sikap keras Arief Budiman dalam mengekspresikan dirinya dalam penentangan penyelewengan cita -  cita bangsa masa Orde Baru diperkirakan karena rasa kehilangan yang teramat besar atas kematian Soe Hok Gie adiknya yang meninggal karena menghirup asap beracun dalam pendakian di Gunung Semeru. Sebelum memasuki Universitas kedua kakak beradik ini memiliki hubungan yang cukup renggang, Terang Rudy Badil sahabat Arief Budiman pada tim wartawan Historia Masa Lampau Selalu Aktual. Pada masa-masa di kampus, sebelum kematian Soe Hok Gie, kakak-adik itu mulai memperlihatkan niat untuk memperbaiki hubungan. Walau tak ada penyelesaian maslah bersih seperti sidang-sidang tetapi sejak kegiatan mereka yang aktif dalam berbagai diskusi-diskusi tentang situasi tanah air, Arief dan Soe Hok Gie merasa mereka berdua semakin memiliki kesamaan minat. Hubungan mereka berdua akhirnya membaik. Soe Hok Gie sering berkeluh kesah tentang kehidupan pribadinya kepada Arief abangnya. Begitu juga sebaliknya. Kakak-adik itu bahkan secara sadar tak sadar saling mempengaruhi dalam gerak langkah dan sikap politik mereka masing-masing. Salah satu yang sering disebut Soe Hok Gie adalah mengenai gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral.

Dalam kutipan sebuah surat kepada Boediono, sahabatnya dari Seo Hok Gie  tanggal 5 Maret 1967. Soe Hok Gie pernah mengutip pendapat Arief mengenai ideal-ideal sebuah gerakan mahasiswa. “Boedi…Lu masih ingat karangan kakak gue tentang cowboy yang basmi bandit-bandit di suatu kota? Setelah tugasnya selesai dia pergi begitu saja, tanpa minta balas jasa…Gue mau agar mahasiswa-mahasiswa sekarang juga bermoral seperti cowboy itu…”tulis Soe Hok Gie, diceritakan dalam buku Soe Hok Gie, Sekali Lagi: Buku, Pesta, dan Cinta di Alam. Arief tampaknya banyak terinspirasi oleh Soe Hok Gie. Keputusannya dan jalan pilihannya saat menjadi oposisi (Penentang) Orde Baru seolah meneruskan apa yang dulu sering Ia diskusikan bersama sang adik. Arief berusaha gigih melanjutkan cita – cita sang adik memperjuangkan nasib bangsa.[5]

            Arief Budiman adalah lelaki pemberani. Pada saat yang di perlukan ia menjelma menjadi seribu tanda seru bagi penguasa non-demokratis, bersuara di jalan dan menulis. Bahkan setelah reformasi ia masih terus aktif menruskan aksinya dengan menulis. Sekitar tahun 1960, Arief Budiman sering bergaul dan berbaur dengan kaum sastra di Jakarta. Ia bersama Goenawan Mohamad rajin dolan ke rumah Wiratmo Soekito. Mereka membaca buku dan berdiskusi mengenai sastra, filsafat, politik, sejarah, dan lainnya. Arief Budiman yang pada saat itu memang berstatus sebagai mahasiswa Universitas Indonesia mulai menulis esai-esai dan membuat sketsa. Berkat itu ia memiliki kecakapan dalam menulis, dan mulai menerbitkan buku -  buku kisahnya yang mampu menginspirasi para mahasiswa dalam memperjuangkan dan memperjuangkan nasib bangsa.

            Buku karangan dari Arief Budiman sangat banyak, diantaranya Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (skripsi sarjana psikologi UI-Pustaka Jaya, 1976), Perdebatan Sastra Kontekstual (editor Ariel Heryanto; memuat tulisan Arief Budiman tentang topik ini tahun 1985), Transmigrasi di Indonesia: Ringkasan Tulisan dan Hasil-Hasil Penelitian (1985), Jalan Demokrasi ke Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende (Desertasi untuk gelar Doktor sosiologi pada Universitas Harvard-1986), Pembagian kerja secara seksual: sebuah pembahasan sosiologis tentang peran wanita di dalam masyarakat (Gramedia, 1982). Beliau juga pernah menerima Penghargaan atas Esainya yang berjudul  "Manusia dan Seni" yang mendapatkan Hadiah Ketiga majalah Sastra pada tahun 1963. Pada Agustus tahun 2006 Arief menerima penghargaan Bakrie Award, acara rutin tahunan yang disponsori oleh keluarga Bakrie dan Freedom Institute untuk bidang penelitian sosial. Salah satu kutipan lugas dari Arief Budiman yang cukup unik yakni "Saya terima penghargaan ini sebagai penghinaan. Saya ini orang kiri yang menolak paradigma modernisasi dan pembangunanisme, tetapi saya malah mendapatkan penghargaan dari orang kanan.", Berasal dari pidatonya saat menerima penghargaan Achmad Bakrie 2006.[6]

                Arief bekerja sebagai dosen di Melbourne University. Dan setelah pensiun Ia kembali pulang ke Salatiga. Pada saat itu ia telah divonis dengan riwayat penyakit parkinson yang mempengaruhi sistem motorik tubuhnya. Dalam masa rehatnya Ia tetap gigih untuk menyimpan memori ingatannya akan peristiwa – peristiwa yang dialaminya yang belum sempat ia tulis sendiri. Arief bekerja sama dengan penulis dan wartawan untuk menerbitkan buku ataupun artikel mengenai kisahnya. Walau begitu tetap saja umur tidak dapat dilawan. Karena usianya yang makin menua ingatannya akan peristiwa-peristiwa tersebut pastinya ikut memudar. Arief juga pernah menolak salah satu penulis yang ingin menjadikannya narasumber dari buku bertemakan gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) karena lupa akan kelengkapan peristiwa tersebut. Hingga kemudian beliau tutup usia di umur 79 tahun pada tanggal 23 April 2020 di Rumah Sakit Ken Saras, Bergas karena penyakitkomplikasi yang dideritanya.

 

Kesimpulan

Arief Budiman adalah aktivis, sosiolog, penulis dan intelektual publik, yang berjasa mengenalkan pemikiran kritis di masa Orde Baru. Arief dengan nama kecil Seo Hok Jin memang dikenal memiliki sikap keras kepada penguasa, tetapi ia juga tak segan memuji tokoh-tokoh yang memiliki sikap dan pandangan yang ia anggap baik dalam memimpin Indonesia walaupun tokoh yang ia puji memiliki beberapa pertentangan pendapat dengannya. Bagi Arief, konflik dilihat sebagai komunikasi mengadu gagasan atau argumen. Sebagai intelektual, Arief terlihat sering menggunakan pemikiran strukturalismenya untuk menggugat kapitalisme Orde Baru. Dengan kakinya ia melintasi jalan-jalan demonstrasi tanpa takut dipenjara atau dimusuhi Soeharto. Dengan tangannya ia menulis keluh, kecewa, dan gerahnya terhadap model pemerintahan yang menyengsarakan bangsa tanpa takut terhadap status bahkan nyawa sebagai taruhannya. Atas sikap berani dan kegigihannya dalam memperjuangkan nasib bangsa, Arief Budiman layak untuk di juluki “Panutan Kaum Demonstran”.          


                                               

[1] Fahri Salam. “Sosiolog  Dr. Arief Budiman Meninggal Dunia”. 23 April. 2020, https://tirto.id/sosiolog-dr-arief-budiman-meninggal-dunia-eQHz. Diakses 27 November 2020

[2]   Drs Sam Setyautama. Tokoh -  Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia . Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta . 2008. Hal 333

[3] Hendi Johari. “Jalan Seorang Arief Budiman”. 23 April 2020, https://historia.id/politik/articles/jalan-seorang-arief-budiman-vqmzy/page/1. Diakses 26 November 2020

[4]   Kuntowijoyo, Stanley. Seo Hok Gie : Zaman Peralihan. Gagas Media. Jakarta. 2005. Hal 90 - 91

[5]   Rudy Badil. Seo Hok Gie, Sekali lagi : Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya. PT Gramedia. Jakarta. 2009. Hal 342

[6] Wikipedia. Arief Budiman. https://id.wikipedia.org/wiki/Arief_Budiman. Diakses 27 November 2020

 

Daftar Pustaka

Badil, Rudy. 2009. Seo Hok Gie, Sekali lagi : Buku, Pesta, dan Cinta di Alam BangsanyaPT Gramedia. Jakarta.

Fahri Salam. “Sosiolog  Dr. Arief Budiman Meninggal Dunia”. 23 April. 2020, https://tirto.id/sosiolog-dr-arief-budiman-meninggal-dunia-eQHz.

Hendi Johari. “Jalan Seorang Arief Budiman”. 23 April 2020, https://historia.id/politik/articles/jalan-seorang-arief-budiman-vqmzy/page/1.

Kuntowijoyo dan Stanley. 2005. Seo Hok Gie : Zaman Peralihan. Gagas Media. Jakarta.

Setyautama, Sam. 2008. Tokoh -  Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.

Wikipedia. “Arief Budiman”. https://id.wikipedia.org/wiki/Arief_Budiman.  Diakses 27 November 2020


MINUMAN KHAS MELAYU RIAU

Salsabila Asri Negara Indonesia memiliki berbagai macam masyarakat dengan latar belakang dan keinginan yang berbeda. Indonesia juga memp...